Sunday 2 September 2012

Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat (Part I)


Darah melankolis mengalir jauh di dalam ragaku. Perkenalkan, aku adalah manusia. Aku bukanlah seorang pujangga, tetapi aku hidup atas nama kata-kata. Rasa adalah elemen penting yang membuat aku hidup. Aku senang, aku sedih, aku marah, aku terharu, aku bingung, semuanya karena aku hidup. Rasa adalah segalanya. Tanpa rasa berarti mati. Biarlah aku sedih, aku kecewa, dan aku menderita. Yang terpenting, aku tahu aku masih bisa merasakannya, karena aku hidup! Aku hidup!


Puisi adalah napasku… Syair adalah denyut nadiku…

***

Semua yang indah, bisa jadi terasa sangaattttt indah untukku. Semua yang buruk, bisa jadi pula sangat buruk untukku. Di kala cinta menyapa, hidupku seakan dipenuhi bunga-bunga cinta tiada habisnya. Tetapi, hatikupun akan menjadi penuh kebencian di saat kebencian itu menerpaku. Aku bisa bahagia seratus persen! Aku pun bisa bersedih seratus persen! Begitulah pasang-surut alur emosiku apabila aku tak bisa mengontrolnya.

Aku (dan semua orang melankolis di dunia ini) pun bingung mengapa kami sebegitu melankolis seperti ini. Seolah setiap detik otak kami tidak pernah kosong. Ya, kami sulit sekali untuk sekadar mengosongkan pikiran karena otak kami selalu berpikir. Kami suka sekali merasakan sesuatu dan memikirkannya, mengingat sesuatu dan memikirkannya, mengkaji sesuatu dan memikirkannya, dan apapun itu sambil memikirkannya. Sekali lagi, kami pun bingung mengapa Tuhan menakdirkan darah melankolis tumbuh subur di dalam jiwa kami. Setiap detik adalah rasa. Setiap rasa adalah rasa itu sendiri, namun berlebihan!

***

Ada yang bilang, kami adalah planner berjalan. Segala rencana matang kami pikirkan dari A sampai Z. Bahkan, kata orang, kami adalah orang-orang yang memiliki seribu rencana di balik rencana. Tak heran, banyak yang  ‘meminjam’ kami untuk dijadikan pemimpin atau sekadar me-manage suatu acara. Alasannya jelas, si melankolis tentu sangat teratur, rapi, dan perfeksionis. Dan ternyata, banyak plan berjalan memutari otak kami pun bukan saja sekadar plan jangka pendek belaka. Di tengah-tengah hectic-nya kesibukan kami berpikir untuk acara esok hari, kami pun tengah sibuk memikirkan seribu rencana untuk masa depan. Segala kemungkinan terbaik dan terburuk selalu singgah di pikiran kami agar kami siap menghadapi dan mengatasinya.

Mungkin di satu sisi, kelebihan kami itu memang menguntungkan, tetapi ternyata banyak pula ruginya. Pertama, kami menjadi orang yang khawatiran. Ya, untuk sesuatu yang masih sangat jauh dan tak penting sekalipun, kami bisa mengkhawatirkannya sejak dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya. Setiap apa yang kami pikirkan adalah untuk jangka panjang. Kata orang, masa depan itu adalah misteri yang kita tidak pernah tahu akan seperti apa. Dan faktanya, hal itulah yang menjadi poin menarik bagi sang melankolis manapun. Kedua, sifat perfeksionis yang kami miliki dapat berdampak bagi buruknya kemampuan kerja sama kami. Tak jarang seorang melankolis yang terlibat suatu proyek, akan mengerjakan segala sesuatu tentang proyek itu seorang diri, karena ia bahkan tidak mempercayai orang lain untuk sedikit saja ikut campur terhadap apa yang dianggapnya paling benar. Ketiga, kekhawatiran berlebih yang kami miliki pun akan membuat kami mudah stress di kala semua itu bersenyawa dengan semua rasa yang ada.

***

Untuk urusan perasaan yang begitu peka, pandai-pandailah menghadapi kawan-kawan Anda yang melankolis. Jika suatu ketika Kau telah menghancurkan hatinya, jangan harap sang melankolis memaafkanmu. Atau, bilapun ia memaafkanmu, tak akan sedikitpun ia melupakan luka yang pernah kau torehkan kepadanya. Sama hukumnya apabila Kau membahagiakan seorang melankolis. Di saat Kau menyayangi seorang melankolis, maka bersiap-siaplah menerima kenyataan bahwa sang melankolis tersebut akan seribu kali lipat lebih menyayangimu. Ya, begitulah kenyataan yang ada. Tak heran apabila orang mengatakan, “Cara membahagiakan wanita melankolis adalah dengan sering-sering memberinya bunga.”

No comments:

Post a Comment