Darah melankolis mengalir jauh di dalam ragaku. Perkenalkan,
aku adalah manusia. Aku bukanlah seorang pujangga, tetapi aku hidup atas nama
kata-kata. Rasa adalah elemen penting yang membuat aku hidup. Aku senang, aku
sedih, aku marah, aku terharu, aku bingung, semuanya karena aku hidup. Rasa
adalah segalanya. Tanpa rasa berarti mati. Biarlah aku sedih, aku kecewa, dan
aku menderita. Yang terpenting, aku tahu aku masih bisa merasakannya, karena
aku hidup! Aku hidup!
Puisi adalah napasku… Syair adalah
denyut nadiku…
***
Semua yang indah, bisa jadi terasa sangaattttt indah
untukku. Semua yang buruk, bisa jadi pula sangat buruk untukku. Di kala cinta
menyapa, hidupku seakan dipenuhi bunga-bunga cinta tiada habisnya. Tetapi,
hatikupun akan menjadi penuh kebencian di saat kebencian itu menerpaku. Aku
bisa bahagia seratus persen! Aku pun bisa bersedih seratus persen! Begitulah
pasang-surut alur emosiku apabila aku tak bisa mengontrolnya.
Aku (dan semua orang melankolis di
dunia ini) pun bingung mengapa kami sebegitu melankolis seperti ini. Seolah
setiap detik otak kami tidak pernah kosong. Ya, kami sulit sekali untuk sekadar
mengosongkan pikiran karena otak kami selalu berpikir. Kami suka sekali
merasakan sesuatu dan memikirkannya, mengingat sesuatu dan memikirkannya,
mengkaji sesuatu dan memikirkannya, dan apapun itu sambil memikirkannya. Sekali
lagi, kami pun bingung mengapa Tuhan menakdirkan darah melankolis tumbuh subur
di dalam jiwa kami. Setiap detik adalah rasa. Setiap rasa adalah rasa itu
sendiri, namun berlebihan!
***
Ada yang bilang, kami adalah planner berjalan. Segala rencana matang kami pikirkan dari A sampai
Z. Bahkan, kata orang, kami adalah orang-orang yang memiliki seribu rencana di
balik rencana. Tak heran, banyak yang
‘meminjam’ kami untuk dijadikan pemimpin atau sekadar me-manage suatu acara. Alasannya jelas, si
melankolis tentu sangat teratur, rapi, dan perfeksionis. Dan ternyata, banyak plan berjalan memutari otak kami pun
bukan saja sekadar plan jangka pendek
belaka. Di tengah-tengah hectic-nya
kesibukan kami berpikir untuk acara esok hari, kami pun tengah sibuk memikirkan
seribu rencana untuk masa depan. Segala kemungkinan terbaik dan terburuk selalu
singgah di pikiran kami agar kami siap menghadapi dan mengatasinya.
Mungkin di satu sisi, kelebihan kami
itu memang menguntungkan, tetapi ternyata banyak pula ruginya. Pertama, kami
menjadi orang yang khawatiran. Ya, untuk sesuatu yang masih sangat jauh dan tak
penting sekalipun, kami bisa mengkhawatirkannya sejak dua puluh atau tiga puluh
tahun sebelumnya. Setiap apa yang kami pikirkan adalah untuk jangka panjang.
Kata orang, masa depan itu adalah misteri yang kita tidak pernah tahu akan
seperti apa. Dan faktanya, hal itulah yang menjadi poin menarik bagi sang
melankolis manapun. Kedua, sifat perfeksionis yang kami miliki dapat berdampak
bagi buruknya kemampuan kerja sama kami. Tak jarang seorang melankolis yang
terlibat suatu proyek, akan mengerjakan segala sesuatu tentang proyek itu
seorang diri, karena ia bahkan tidak mempercayai orang lain untuk sedikit saja
ikut campur terhadap apa yang dianggapnya paling benar. Ketiga, kekhawatiran
berlebih yang kami miliki pun akan membuat kami mudah stress di kala semua itu
bersenyawa dengan semua rasa yang ada.
***
Untuk urusan perasaan yang begitu peka, pandai-pandailah
menghadapi kawan-kawan Anda yang melankolis. Jika suatu ketika Kau telah
menghancurkan hatinya, jangan harap sang melankolis memaafkanmu. Atau, bilapun
ia memaafkanmu, tak akan sedikitpun ia melupakan luka yang pernah kau torehkan
kepadanya. Sama hukumnya apabila Kau membahagiakan seorang melankolis. Di saat
Kau menyayangi seorang melankolis, maka bersiap-siaplah menerima kenyataan
bahwa sang melankolis tersebut akan seribu kali lipat lebih menyayangimu. Ya,
begitulah kenyataan yang ada. Tak heran apabila orang mengatakan, “Cara membahagiakan wanita melankolis adalah
dengan sering-sering memberinya bunga.”
No comments:
Post a Comment