Tuesday 27 November 2012

Ngomongin Tipe Cowok Sekali-kali Boleh Lah Yaa…


Perkenalkan, aku adalah seorang wanita dewasa. Ya, hatiku sudah mantap mengakui hal itu. Aku sudah dewasa. Aku tahu betul apa yang aku mau, dan untuk pernikahan yang menjadi impian setiap wanita di dunia ini, aku pun tahu betul kriteria calon pangeran seperti apa yang kuinginkan. Ehem, beginilah kira-kira:
  1. Buat aku, karena aku adalah seorang Muslimah, yang pertama dan yang terpenting adalah seiman dan sholeh. Aku sangat tahu apa yang kumau. Aku mendambakan seorang imam yang imannya kuat, yang dapat menuntun, membimbing, dan membawaku pada kebahagiaan di dunia dan di akhirat. Karena kalau iman saja nggak kuat, aku nggak yakin ke sananya kita bakal bahagia. Tapi, iman yang kuat itu bukan berarti freak. Aku malah nggak suka banget sama orang yang terlalu fanatik (serem bangeettt…). Cowok yang keren itu buat aku adalah cowok yang rajin dan nggak pernah meninggalkan sholat wajib, yang suka mengutamakan sholat di mesjid, yang suka jadi imam sholat, yang rajin baca Al-Quran, dan yang gemar bersedekah.
  2. Hi, I’m a fairytale dweller! Yap! Akulah wanita yang mendambakan seorang pangeran yang selalu memperlakukanku layaknya seorang puteri raja. Maksudnya, pangeran yang mencintai dan menyayangiku apa adanya, sangat menghargai perempuan, yang baik hatinya, yang lemah lembut terhadap wanita, yang selalu perhatian, yang setia, yang penuh inisiatif, yang penuh kejutan, yang romantis, dan intinya selalu dapat membawa suasana menjadi menyenangkan dan dapat membahagiakanku sekalipun bahtera rumah tangga kami sedang dalam keadaan yang sulit. Karena aku percaya dengan sabda Rasulullah SAW, bahwa sebaik-baiknya laki-laki adalah mereka yang paling baik perlakuannya terhadap perempuan. Aku hanya ingin selalu dibahagiakan dan selalu menjadi wanita paling beruntung di saat aku ada di sampingnya, sekalipun keadaan sedang sulit, dan sekalipun hidup memang tidak seperti cerita dongeng.
  3. Mengenai sifat dasar, bagiku semua itu memang sudah rancangan Yang Kuasa. Makanya kenapa aku nggak begitu mempermasalahkan. Justru perbedaan itu harusnya bisa saling melengkapi. Kalau buat aku sih, cowok itu yang penting rendah hati, murah senyum, dan humoris, karena tentunya selalu bisa membawa suasana. Aku nggak suka banget cowok yang cuek dan membuat suasana jadi membosankan.
  4. Aku hanya mencintai cowok yang cowok banget! Aku sangat mengagumi cowok yang macho, pemberani, tangguh, dan nggak manja. Aku suka banget cowok sporty yang sehat dan kuat. Aku hobi banget olahraga, makanya aku suka sama cowok yang juga hobi berolahraga. Kan asyik tuh tiap weekend bisa olahraga bareng, terus lebih romantis lagi kalau punya kolam renang sendiri dan sering renang bareng, heheee… Aku akan lebih kagum lagi sama cowok yang juga jago bela diri, soalnya bisa melindungi perempuan. Asyikkkk deh pasti aman ke mana-mana punya bodyguard pribadi :p
  5. Aku menginginkan calon pangeran yang tangguh – yang benar-benar tangguh – karena tidak cukup jika hanya tangguh biasa. Aku mungkin juga menginginkan seorang yang mapan, berharta, hebat, dsb. Aku di sini bukan materialistis, tetapi realistis! Kutegaskan bahwa tidak ada satu pun wanita di dunia ini yang ingin hidup sengsara. Memangnya nanti mau makan apa? Makan cinta? Sungguh konyol! Nah, kemapanan itu penting, tapi yang ingin kutegaskan di sini adalah lebih kepada ketangguhan. Bagiku, segala kemapanan, harta, dan kehebatan seorang pria itu tidak akan ada apa-apanya apabila ia tidak tangguh!!! Karena apabila ia tidak tangguh, ia akan manja dan merengek di saat Tuhan mengambil semua kemapanan dan kebahagiaan itu. Dan hanya pria tangguh lah yang dapat tetap berpikir dengan kepala dingin, bijaksana, dan dapat menghangatkan suasana di saat badai datang menerpa bahtera rumah tangga kami nantinya. Sebagai pria sejati dia tidak akan manja, berlari, mengeluh, dan menyerah, tetapi dia akan tampil ke depan, berada di barisan paling depan memimpin anak-anak dan isterinya melawan arus ganas yang menghadang.
  6. Aku sangat menyukai pria yang cerdas, mandiri, pintar, terpelajar, dan luas pandangannya. Ya, aku mendambakan pangeran yang satu visi denganku, untuk sama-sama membangun rumah tangga yang ideal dan menjadi sepasang orang tua yang berhasil. Aku suka laki-laki yang pintar, cerdas, tidak pemalas, pekerja keras, dan bertanggung jawab. Untuk hal kepandaian ini, bagiku yang terpenting adalah kepandaiannya secara emosional dalam menghadapi orang-orang dan keadaan. Aku tidak mau punya pangeran yang ansos, yang terkucil dari dunia sekitarnya, yang jarang bersilaturahmi dengan sesamanya, dsb. Aku ingin pangeran yang dapat menempatkan dirinya di manapun ia berada, yang pandai dan tahu caranya menghadapi dan bergaul dengan orang-orang yang begitu bervariasi sifatnya, latar belakang lingkungan dan pendidikannya, budayanya, dsb. Begitulah makna kepintaran seorang pangeran idaman yang bukan cuma memiliki latar pendidikan yang baik, tetapi juga tahu etika berkomunikasi dengan orang-orang yang lebih di bawah dan lebih di atasnya.
  7. Cowok yang keren itu juga harus banget bisa mengerjakan pekerjaan ‘bapak-bapak beneran’. Misalnya nih, ngebenerin barang elektronik yang rusak, benerin listrik di rumah, benerin genteng bocor, benerin gas, benerin mesin-mesin gitu, dll deh… kayak bapak aku banget tuh, haha. Masak bapak aku aja bisa, tapi suami aku nggak bisa :p Terus harus berani juga ngebunuh binatang-binatang rumah tangga kayak kecoak misalnya, soalnya aku takut, hehe. Kebayang kan kalau seorang suami nggak bisa kayak gitu, repot nantinya.
  8. Aku seneng banget sama cowok yang bisa main gitar! Titik! Pokoknya keren banget lah cowok bergitar tuh. Romantis! Nah kan, tiba-tiba muncul quote, “Laki-laki yang memberi kejutan dengan menyanyikan lagu romantis di depan wanitanya adalah salah satu kenyataan hidup paling romatis…” Hehe. Terus kan asyik tuh, aku bisa nyanyi bareng sama dia, duet romantis bareng, dll. Aku kan suka nyanyi, hehe…
  9. Buat aku, kalau masalah fisik, keturunan, dll aku nggak begitu masalah. Ganteng itu aku anggap bonus. Memang sih, kalau ganteng enak setiap kali memandangnya. Dan normal aja, setiap kali melihat cowok ganteng sebagai cewek aku seneng lihatnya, tapi bukan berarti suka. Tapi buat apa ganteng kalau nggak setia dan suatu saat ninggalin aku? Naudzubillahimindzalik… Fisik itu relatif, entah orang bilang dia ganteng atau enggak, yang penting aku suka sama dia. Fisik itu yang penting sehat walafiat kan? Tapi tetep, mana mau aku sama cowok yang jorok. Seenggaknya, penampilan itu tetap harus diperhatikan. Kalau enggak, siapapun akan ilfeel melihat kita. Dan aku juga nggak terlalu mementingkan keturunannya, maksudnya lebih kepada bagaimana keadaan keluarga dia. Berasal dari keluarga yang kaya atau miskin sekalipun, semua itu adalah milik orang tuanya. Berasal dari keluarga yang taat beribadah banget sampai yang cuek beribadah sekalipun, itu juga keluarganya, yang penting dianya sholeh dan taat beribadah tapi nggak keterlaluan sampai jadi freak gitu. Toh pada akhirnya kalau aku dan pangeranku membangun rumah tangga, keluargaku dan keluarga pangeranku nggak akan mencampuri urusan rumah tangga kami. Pernikahan itu awal dari segalanya, terserah kami ke mana dan bagaimana bahtera itu akan di bawa.

Monday 26 November 2012

Survey Iseng bin Asal-asalan yang Membuat Speechless



Rata-rata memang cowok itu ingin sukses dulu lah, selesai kuliah sampai S3 atau mungkin professor lah, ingin membahagiakan orang tua dulu lah, dll. Berangkat dari kenyataan tersebut, aku pun terdorong untuk mencari-cari argumen yang bervariasi dari para cowok. Akhirnya, suatu hari aku pun iseng mengadakan survey asal-asalan pada sahabat-sahabat cowok di sekitarku. Surveynya berupa ngobrol-ngobrol aja sih. Dan aku pun terkesima pada jawaban milik salah satu dari mereka. Sebut saja dia Mr. X.

Aku langsung menanyakan pertanyaan pertama,
Aku     : “Mau nikah umur berapa?”
Mr. X  : “Berapa aja, asalkan udah mandiri dari orang tua.”
Wow, ternyata dia berani juga! Salut deh sama jawabannya! Ternyata bagi si Mr. X, umur bukanlah perkara. Kalau umur 22 dia sudah mapan, ya dia mau-mau saja menikah kalau dia menginginkannya.

Berangkat dari kenyataan bahwa rata-rata cowok melihat kesan pertama seorang cewek adalah melalui fisiknya, aku pun melanjutkan pada pertanyaan kedua,
Aku     : “Tipe cewek yang disukain yang kayak gimana?”
Mr. X  : “Intinya yang penting sifatnya yang baik-baik, kalo cantik fisik itu nggak wajib, itu sih poin plus-plus. Kalau cowok ngeliat cewek dari fisiknya, itu sih udah kodrat. Maksudnya, misal aku lagi jalan-jalan ke BEC terus di depan aku ada cewek cantik pake rok mini. Mungkin aku bakal tertarik di awal doang, sekilas, tapi bukan berarti suka. Aku kan nggak tau si cewek itu hatinya kayak gimana. Yang penting itu cantik hatinya. Makanya tau sendiri, kan, kenapa aurat harus ditutupin? Untuk tau dia aslinya baik atau enggak, ya kita sebagai cowok harus berinteraksi…”
Okeeeee… jawaban si Mr. X ternyata membuat aku kehabisan kata-kata untuk menanggapinya. 

Berlatar belakang kekhawatiran setiap wanita manapun di dunia ini akan alam rahim yang begitu misterius, kulanjutkan pada pertanyaan terakhir yang paling penting,
Aku     : “Kalau kamu udah sayang dan yakin buat menikahi seorang cewek, terus ceritanya udah nikah nih, eh ternyata setelah menikah ‘fisik dia’ tidak seperti yang kamu harapkan. Pertanyaannya, pertama, apa yang akan kamu lakukan? Setia dan menerima dia apa adanya atau kecewa dan pergi? Kedua, lebih parahnya lagi, ternyata dia nggak bisa punya anak, nah, apa yang akan kamu lakukan?”
Mr. X  : “Lho, kan pasti ada alasannya kenapa bisa nikah. Kayaknya nggak mungkin segampang itu ninggalin kalau udah nikah. Nikah kan karena udah sayang. Kalau nggak setia, berarti nggak sayang dong? Jadi nggak usah lah yang namanya poligami sama yang lebih cantik. Dan kalau masalah nggak bisa punya anak, itu juga nggak terlalu masalah buat aku. Memangnya nikah itu tujuannya biar punya anak doang? Enggak, kan? Nikah itu buat saling menyayangi dan buat bahagia. Lagian kalau emang pengen banget punya anak, ya adopsi aja...”

Syuuurrrr… berasa ada angin slow motion lewat (haha lebay!). Oke, aku terdiam speechless. Saat aku menceritakannya pada salah satu sahabat cewekku, sebagai cewek dia pun sama speechless-nya kayak aku, dan dia berpikir untuk mengadakan survey kecil-kecilan seperti itu juga.

Nah, yang kayak gitu tuh yang namanya pria. Ya, pria, beda dengan cowok. Pria itu selalu bertanggung jawab dan bijaksana menghadapi apapun walau sesulit apapun itu.

Will You Marry Me Immediately???



Rata-rata, cewek ingin menikah pada usia muda, sedangkan cowok biasanya sebaliknya. Tetapi, banyak juga kenyataan yang malah berbalik. Misalnya, cewek dengan panggilan jiwa untuk berkarier, biasanya menomorduakan relationship. Sebaliknya, ada juga cowok yang menginginkan menikah di usia muda, entah dia sudah mapan ataupun memilih tetap menikah walau masih merintis. Yang pasti, umur berapapun itu, sebenarnya tidak masalah. Atau mungkin, perbedaan usia dengan pasangannya itu sendiri, itu pun tidak masalah. Masalahnya itu adalah pada pertanyaan, “Cinta atau tidak?” dan “Siap atau tidak?” yang seandainya jawaban untuk keduanya ‘ya’, maka tunggu apa lagi?

***

“Bila ada ibadah yang paling menyenangkan di dunia ini, maka ibadah tersebut adalah menikah… Bila ada ibadah yang dilaksanakan setiap waktu yang pahalanya mengalir tiada putus, maka ibadah tersebut adalah menikah…”

Seorang sahabat cowok pernah berkata padaku, “Eh emang beneran si blablabla nggak mau nikah? Yakali, orang yang nggak menikah itu hidupnya nggak akan bahagia!” Aku pun pernah membaca suatu hadist (maaf sebelumnya, sahih atau dhoif-nya hadist ini aku tidak tahu secara pasti, namun secara makna isi hadist ini memang bagus), “Sehina-hinanya mayat seseorang adalah mereka yang tidak menikah…” kurang-lebih seperti itulah isi hadistnya.

Kawan-kawan yang Muslim tentu tahu 3 jenis amal yang tidak akan terputus, kan? Amalan yang pahalanya tidak pernah putus, bahkan setelah seseorang meninggal, ada 3 macam, yaitu 1. Amal (sedekah) jariyah; 2. Ilmu (agama) yang bermanfaat; dan 3. Anak sholeh yang mendoakan orang tuanya (doa anak sholeh). Nah, untuk mendapatkan yang ke-3 itu tentu saja hanya dengan menikah, bukan?

Intinya, menyegerakan menikah itu adalah sesuatu yang baik, entah itu bagi perempuan maupun laki-laki. Kita tidak tahu jatah umur kita tinggal berapa tahun lagi. Dan seandainya menunda-nunda menikah padahal sudah mampu dan keburu dipanggil Yang Mahakuasa, nah lho, rugi dong?

Breaking Dawn, Awal Yang Baru


Tahu, kan, lagu wedding yang judulnya A Whole New World yang dibawakan oleh Peabo Bryson feat. Rigina Belle? Lirik lagunya itu secara keseluruhan romatis banget, pas banget buat lagu wedding. Tapi dari seluruh lirik lagu itu, bagian yang paling menyentak perasaanku adalah, “But when I’m way up here, it’s crystal clear, that now I’m in the whole new world with you… Unbelievable sights, indescribable feeling…”

“Menikah adalah ibadah, menikah adalah tujuan, menikah adalah mimpi, menikah adalah pembatal dosa, dan menikah adalah awal mula…”-@hanumpdita-

Awal mula. Awal yang baru. Bagai terlahir kembali. Dunia yang benar-benar baru. Status baru. Tanggung jawab baru. Tugas baru. Kebahagiaan baru. Kesedihan baru. Semuanya… baru, hal-hal baru yang tak terbayangkan sebelumnya!

From single to double. Kau tak lagi mengarungi kehidupan ini sendirian, karena sekarang kau dan dia adalah satu paket. Bahkan, di kala kelamnya malam menyapa dan menggodamu untuk sholat malam, atau sekadar berdoa dan menangis tuk melepas kerinduanmu terhadap Tuhanmu, kau pun tak lagi terbangun di antara sepi, karena kau dan dia akan terbangun berdua untuk menghadap-Nya.

***

Disadari atau tidak, menghadapi pernikahan itu sebenarnya lebih kepada persiapan psikis dan mental, bahwa di depan sana kehidupan yang benar-benar baru telah menanti. Dari segala yang baru tersebut, pemandangan dan kenyataan baru yang paling gampang kita dapatkan nantinya adalah mengenai perbedaan…

Ayo kita mulai mengarang cerita. Pertama, anggaplah aku baru saja menikah dengan pangeranku tersayang. Hari ini adalah tepat satu minggu kami menjadi pasangan suami-isteri, bertepatan dengan genap satu minggu pula kami menempati rumah baru kami. Rumah yang pangeranku hadiahkan untukku itu mungkin masih sederhana, tetapi aku merasa bak puteri raja yang tinggal di dalam istana setiap detiknya. Yang tinggal di sana mungkin memang baru kami berdua, tetapi sepinya suasana pun sama sekali tidak terasa karena aku tahu aku bersamanya… Sepi itu cuma omong kosong, yang ada hanyalah kebahagiaan kami dan kebersamaan kami…

Namun, tepat seminggu ini pula lah, semua yang baru atas nama latar belakang perbedaan pun kian terasa. Perbedaan itu jelas terasa sejak hari pertama kebahagiaan kami. Ya, kami memang berbeda. Di satu pihak adalah seorang anak manusia yang sejak kecil memiliki kebiasaan A, sama seperti keluarganya, dan di pihak lain adalah anak manusia dengan kebiasaan B seperti yang biasa ia lakukan di rumah ayah-ibunya dulu. Begitulah seterusnya, entah itu aktivitas, cara hidup, sifat dasar, dsb ternyata serba berbeda. Kalau kita beri contoh real, misal begini, dulu di keluarga si cowok kalau kelihatan ada debu sedikit maka wajib dibersihkan, sementara kalau itu terjadi di keluarga si cewek, tidak ada yang memedulikannya karena mereka menunggu debu itu banyak dulu supaya tidak terlalu sering dibersihkan. Contoh sepele lain, misalnya dulu di keluarga si cewek kalau makan wajib di meja makan supaya sopan, tetapi ternyata lain halnya dengan keluarga si cowok yang membebaskan siapapun anggota keluarganya makan di kamar, sambil tiduran di ruang nonton TV, dll. Intinya, dari yang sepele sampai yang kompleks, perbedaan itu akan selalu ada. Namun kami yakin, semua itu adalah untuk dihadapi bersama dengan kepala dingin, bukan dengan pertengkaran-pertengkaran.

Aku dan dia berasal dari latar belakang keluarga yang benar-benar berbeda. Tapi aku sadar, aku terbiasa begini karena didikan natural keluargaku, dan dia pun begitu karena didikan natural keluarganya. Poin penting di sini adalah ketika dulu status kami masih sebagai seorang anak, maka kami pun menuruti aturan main yang dibuat orang tua kami, entah itu mereka orang tua yang cuek, biasa-biasa saja, atau kelewat perhatian. Dan kini, status kami adalah calon orang tua yang segala aturan main di dalam rumah kami merupakan kesepakatan bersama yang bebas kami tentukan sendiri. Jadi, masa bodohlah dengan masa lalu. Aku dan dia mengarungi hidup yang baru. So, kami bicarakan saja segala sesuatunya agar di antara kami sama-sama nyaman dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Menurutku, dulu dia seperti apa itu tidak penting. Lagian, kalau misalnya setelah menikah kebiasaan dia jadi berubah menyesuaikan seperti kebiasaanku, orang tuanya nggak akan marah, kan? Sama saja seperti kalau pandanganku tentang sesuatu berubah mengikuti pandangan dia, orang tuaku pun tidak akan marah. Ya, karena setelah menikah, idealnya orang tua masing-masing mempercayakan kepada anaknya untuk ke mana dan bagaimana rumah tangga anaknya itu akan dibawa. Jadi, kalau misal kita nggak seperti kita yang dulu, jangan takut merasa tidak enak dengan orang tua kita karena tidak ikut lagi dengan aturan mainnya. Justru dengan menikahlah kita menjadi lebih bebas hidup sesuai dengan apa yang kita anggap benar. Tapi tetap, orang tua itu harus kita hormati, misalnya dengan cara menjalankan aturan mainnya pada saat kita sedang berkunjung atau berlibur di rumah orang tua kita itu. Kalau yang dikunjungi rumah orang tua si cewek, untuk sementara si cowok harus pandai menyesuaikan diri dengan bimbingan si cewek, begitu pula sebaliknya.

***

Apapun masalahnya, apapun perbedaannya, bagiku pemecahan yang terpenting adalah komunikasi. Aku nggak mau di antara aku dan pangeranku ada yang ditutup-tutupi. Kalau boleh curhat, sebenarnya aku orangnya sangat tertutup untuk rahasia-rahasia tertentu yang aku anggap cukup aku sendiri dan Tuhan-lah yang tahu. Untuk rahasia yang tidak terlalu ‘berbahaya’ saja mungkin hanya sahabat-sahabat terdekatku saja yang tahu. Curhat masalah pribadi dengan orang tua saja jarang dan aku lebih suka memendamnya sendiri. Tetapi setelah aku menikah suatu saat nanti, aku nggak mau tertutup sama pangeranku. Dia juga nggak boleh tertutup sama aku. Nggak boleh ada rahasia sekecil apapun di antara kita. Masalah milik satu pihak adalah masalah bersama, rahasia satu pihak adalah rahasia bersama, dan kebahagiaan atau kesedihan salah satu pihak pun adalah milik bersama. Setiap kali ada sedikit saja kekecewaanku tentangnya, aku akan membicarakannya, dan dia pun harus begitu. Kalau aku sedang marah padanya, aku harus mengatakannya, dan dia pun harus begitu. Pokoknya, tidak ada yang boleh memendam apapun satu sama lainnya. Mau ngomong ya ngomong aja! Tentunya, dengan sikap dan emosi yang terjaga atas dasar saling memperbaiki, bukan untuk bertengkar.

Dan yang penting lainnya, sadarilah betapa perbedaan itu indah, karya Yang Kuasa…

Mencari Pendamping Hidup, Kalau Kata Ibu Aku Sih…


Ngomong-ngomong tentang masalah calon pendamping hidup, seorang wanita tentu tidak ingin asal memilih pria yang akan menjadi calon pangerannya. Satu hal penting yang ingin kutegaskan di sini, “Wanita itu berharga dan sama sekali tidak pantas untuk disia-siakan…”

***

Cewek alias anak gadis yang telah beranjak dewasa pasti pernah sesekali (atau malah sering) diajak ibunya membahas masalah calon pendamping hidup, pernikahan, dll. Alasannya jelas, seorang ibu dan anak perempuannya itu sama-sama memiliki hati seorang wanita yang sarat akan kelembutan dan cinta. Ibu manapun sangat tidak menginginkan putrinya tidak bahagia dan gagal dengan pernikahannya.

Kalau aku sendiri, jujur aku jarang ngomongin masalah seperti ini sama ibu aku. Alasannya sih, soalnya ya malu-malu gitu akunya :p Jadi kalaupun ngomongin hal ini, pasti ibu aku duluan yang inisiatif membuka topik, dan tetap saja akunya malu-malu ngobrolinnya :p

Pada dasarnya, ibuku membebaskanku untuk memilih sendiri kepada siapa hatiku  ini akan dilabuhkan. Ibuku tidak mau mencampuri urusan tentang perjalanan cintaku dan selalu mempercayakan pilihan sakral itu kepadaku, karena ibuku hanya ingin aku bahagia. Itu saja…

Nah, pesan dari ibuku tercinta untuk siapapun nanti yang kelak menjadi pangeranku (heh calon pangeran, dengerin nih :p) adalah, “Ibu cuma ingin, anak-anak perempuan ibu dapet suaminya yang baik. Itu yang paling penting. Jangan cari suami yang cuek. Cari suami yang bener-bener baiiiikkkkkkk… yang bener-bener sayaaaaangggg sama kamu… Ibu paling nggak setuju kalau kamu sama laki-laki yang kasar dan omongannya suka bikin sakit hati. Buat apa kamu nikah sama laki-laki yang nggak bisa bikin kamu bahagia, padahal selama ini kamu begitu dibahagiakan sama orang tua kamu? Laki-laki yang cuek itu sama aja nyiksa batin. Ngapain nyiksa-nyiksa anak saya?” Yaaa… kurang lebih seperti itulah ibu aku nitip pesennya. Ibu aku nggak mau banget aku sembarangan mencari pendamping hidup. Ya Tuhan, aku terharu banget… sampai ingin nangis… terima kasih telah memberiku ibu yang luar biasa baik, yang selalu mengutamakan kebahagiaan anak-anaknya :’)

“Dear, my future husband! You’ll be my prince one day till forever, please make me happy with your love so that my mother will be happy too J

Sekali lagi, satu hal penting yang ingin kutegaskan di sini, “Wanita itu berharga dan sama sekali tidak pantas untuk disia-siakan…”

Saturday 17 November 2012

Untuk Air Mata yang Tak Lagi Kering


Dulu aku suka nggak ngerti sama temen-temen aku, yang kalau kasarnya sih, bisa dibilang cengeng. Kayaknya, tiada hari tanpa air mata gitu. Kalau aku sih sebenarnya termasuk tipe orang yang selain peka banget, respek banget juga. Aku nggak pernah tega melihat siapapun nangis. Jadi, pada saat itu, aku mungkin merasa iba pada si cengeng yang sedang menangis itu, tetapi tetap saja aku tidak setuju kalau dia nangisnya keseringan. Jadi bolehlah dibilang aku jahat juga seenaknya mengecap mereka cengeng.

Sejak dulu, kutanamkan di dalam diriku, bahwa aku adalah wanita yang kuat dan bahwa menangis itu artinya kalah dengan keadaan. Maka terbentuklah diriku yang seperti itu. Sebanyak apapun masalah hidup menghampiriku, aku tidak sudi menangisinya walaupun hatiku benar-benar sedih. Pada saat itu, seandainya aku bisa, aku ingin sekali menangis. Boleh taruhan, sebagian besar cewek seumuranku kalau dikasih masalah yang sama sepertiku pasti sudah menangis. Aku juga ingin sekali menangis seandainya bisa, tapi aku benar-benar tidak bisa melakukannya.  Nggak ada satu pun butir air mata yang menetes. Ya, saat itu memang aku jarang sekali menangis. Aku hanya menangis untuk sesuatu yang kuanggap layak untuk ditangisi, misalnya saja kematian kerabat atau teman. Di luar semua itu, aku tidak menangis. Dan satu hal yang paling menjadi pantanganku adalah menangisi cinta. Kutanamkan pada diriku sendiri, bahwa terlalu hina bila diri ini menangis hanya karena cinta. Di kala itu, aku tak begitu memedulikannya. Aku berpikir, ya sudah, kalau memang susah menangis ya tidak usah dipaksakan.

Lama kelamaan, ternyata prinsip yang kutanamkan tersebut semakin menyiksaku. Seiring bertambahnya umur dan kedewasaanku, permasalahan hidup pun kian kompleks dan bertubi-tubi datangnya. Setiap kali semua itu menyerangku, aku hanya dapat berteriak sekencang-kencangnya di dalam hatiku karena dua alasan, pertama karena masalah itu sendiri, dan yang kedua karena aku tidak bisa menangis. Aku pun lelah menghadapi semua ini. Aku begitu iri melihat teman-teman cewek di sekitarku yang begitu mudahnya menangis di saat mereka sedih. Mengapa aku susah menangis? Adakah yang salah di dalam diriku? Mengapa air mata ini seolah kering? Apakah hatiku juga telah mengering dan mengeras seperti batu? Atau mungkin, benarkah aku seolah sudah tidak punya hati lagi?

Waktu pun berlalu. Bak anak panah yang melesat dari busurnya, sang waktu pun begitu cepat menghabiskan jatah umurku dari hari ke hari. Suatu hari, datanglah suatu musibah yang sangat besar. Seumur hidup, itulah masalah terbesar yang pernah kualami. Bagaikan badai yang menggulung urat nadiku, musibah itu berhasil membuatku histeris memecah keheningan Subuh yang masih hitam-pekat. Saat itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengutuki apa saja yang ingin kuteriakkan. Aku pun seolah tak peduli dengan keadaan sekitar. Hebat sekali, sepanjang hari itu aku menangis dan menangis saja terus kerjaannya. Ingat sedikit saja, langsung menangis. Rasa sedih pun masih menghantui sampai seminggu lamanya, sampai akhirnya aku harus belajar merelakannya. Badai telah berlalu, namun aku masih seringkali merasa trauma. Di saat aku sedang sendirian di kesunyian malam, aku pun hampir selalu merasa ketakutan. Setiap kali aku mau tidur pun, aku seringkali gelisah dan takut mendapat mimpi buruk. Dan kenyataannya, kini aku memang jadi lebih sering mendapat mimpi buruk.

Seperti sudah hukum alam, masalah itu memang akan selalu ada sejak di buaian sampai ke liang lahat. Akhirnya, setelah badai itu berlalu, masalah-masalah baru pun bermunculan. Seperti biasa, datangnya bertubi-tubi dan jumlahnya banyak. Tetapi ada satu keadaan yang menjadi berbeda. Air mataku tak lagi kering. Aku jadi sering menangis. Aku bahkan begitu mudah menangis untuk alasan-alasan yang tak kumengerti. Apakah ini yang namanya rumit? Ataukah ini yang namanya titik puncak ketidakmengertian? Ya, karena aku pun terlalu tidak dapat mengendalikan ketidakmengertianku tentang semua ini. Maaf kalau bingung, karena aku pun terlalu bingung. Aku jadi sering murung di depan umum. Setiap kali aku merasa sedih dan masalah hidupku begitu kompleks, aku pun menangis. Dan sebenarnya, kalau boleh asal mengira-kira, alasan-alasan yang tak kumengerti dari tangisanku itu adalah masalah-masalah yang terlalu banyak dan terlalu rumit itu sendiri. Jadi, saking aku sudah tidak bisa mengabsen apa saja masalah hidupku, aku pun jadi tidak mengerti secara pasti masalah yang mana yang sebenarnya sedang aku tangisi itu. Begitulah, kalau ada orang menanyaiku, aku pun bingung mau jawab apa. Kalau mereka menyuruhku bercerita, aku pun bingung mau cerita yang mana dulu dan harus mulai dari mana dulu. Aku pun akhirnya hanya dapat meminta mereka untuk cukup memaklumi dan memahamiku saja, dan tidak usah memaksaku untuk menceritakan kesedihanku. Dengan raut penuh derita itu, mungkin saja orang-orang dapat mengerti aku dan tidak mengucilkanku. Ya, semoga saja orang-orang mengerti bahwa untuk saat ini (tetapi entah sampai kapan) aku hanya perlu sendirian atau perlu sekadar ditemani di saat sedang menangis tiba-tiba, tanpa harus ditanya macam-macam.

Di satu sisi, perbedaan yang terjadi di diriku ini membuatku cukup puas. Tak ada lagi yang namanya emosi yang terpendam dan tak terlampiaskan. Kalau sedih ya nangis! Ah, puas sekali rasanya hati ini kalau sudah menangis. Berasa beban yang menggunung di pundak pun raib seketika. Akhirnya, bisa juga aku menangis. Tetapi, ternyata di sisi lain semua ini pun memberi dampak buruk juga. Jangankan mereka-mereka yang memandangku aneh, atau mungkin mereka-mereka yang bertanya-tanya mengapa diriku yang ceria itu kini sering murung, karena sekarang bahkan aku pun merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Sampai kapan aku akan seperti ini terus, aku tak tahu. Pertanyaanku masih sama, “Mengapa aku begitu sulit memaafkan keadaan?”

Jika tak mau mendukungku, aku tidak apa-apa, tetapi tolong, cukup pahami saja diriku. Jangan hakimi aku. Jangan pula jauhi aku. Bagaimanapun hidupku, tak pernah sedikit pun terselip kebencian untuk sesama manusia di dalam hatiku. Aku selalu menyayangi kalian semua :’)

***

Anak panah sang waktu itu lagi-lagi melesat jauh tiada berhentinya... Semuanya hanyalah cerita masa lalu untuk hidup yang lebih bijaksana lagi di masa sekarang dan masa depan. Percayalah, sekarang aku benar-benar baik-baik saja. Senang dan sedih itu datang silih berganti, dan itulah hidup yang normal! Aku tahu kapan aku harus menangis dan kapan aku harus cukup tersenyum saja menghadapi berbagai kenyataan yang ada...