Showing posts with label Mengenalku Lebih Akrab. Show all posts
Showing posts with label Mengenalku Lebih Akrab. Show all posts

Saturday, 17 November 2012

Untuk Air Mata yang Tak Lagi Kering


Dulu aku suka nggak ngerti sama temen-temen aku, yang kalau kasarnya sih, bisa dibilang cengeng. Kayaknya, tiada hari tanpa air mata gitu. Kalau aku sih sebenarnya termasuk tipe orang yang selain peka banget, respek banget juga. Aku nggak pernah tega melihat siapapun nangis. Jadi, pada saat itu, aku mungkin merasa iba pada si cengeng yang sedang menangis itu, tetapi tetap saja aku tidak setuju kalau dia nangisnya keseringan. Jadi bolehlah dibilang aku jahat juga seenaknya mengecap mereka cengeng.

Sejak dulu, kutanamkan di dalam diriku, bahwa aku adalah wanita yang kuat dan bahwa menangis itu artinya kalah dengan keadaan. Maka terbentuklah diriku yang seperti itu. Sebanyak apapun masalah hidup menghampiriku, aku tidak sudi menangisinya walaupun hatiku benar-benar sedih. Pada saat itu, seandainya aku bisa, aku ingin sekali menangis. Boleh taruhan, sebagian besar cewek seumuranku kalau dikasih masalah yang sama sepertiku pasti sudah menangis. Aku juga ingin sekali menangis seandainya bisa, tapi aku benar-benar tidak bisa melakukannya.  Nggak ada satu pun butir air mata yang menetes. Ya, saat itu memang aku jarang sekali menangis. Aku hanya menangis untuk sesuatu yang kuanggap layak untuk ditangisi, misalnya saja kematian kerabat atau teman. Di luar semua itu, aku tidak menangis. Dan satu hal yang paling menjadi pantanganku adalah menangisi cinta. Kutanamkan pada diriku sendiri, bahwa terlalu hina bila diri ini menangis hanya karena cinta. Di kala itu, aku tak begitu memedulikannya. Aku berpikir, ya sudah, kalau memang susah menangis ya tidak usah dipaksakan.

Lama kelamaan, ternyata prinsip yang kutanamkan tersebut semakin menyiksaku. Seiring bertambahnya umur dan kedewasaanku, permasalahan hidup pun kian kompleks dan bertubi-tubi datangnya. Setiap kali semua itu menyerangku, aku hanya dapat berteriak sekencang-kencangnya di dalam hatiku karena dua alasan, pertama karena masalah itu sendiri, dan yang kedua karena aku tidak bisa menangis. Aku pun lelah menghadapi semua ini. Aku begitu iri melihat teman-teman cewek di sekitarku yang begitu mudahnya menangis di saat mereka sedih. Mengapa aku susah menangis? Adakah yang salah di dalam diriku? Mengapa air mata ini seolah kering? Apakah hatiku juga telah mengering dan mengeras seperti batu? Atau mungkin, benarkah aku seolah sudah tidak punya hati lagi?

Waktu pun berlalu. Bak anak panah yang melesat dari busurnya, sang waktu pun begitu cepat menghabiskan jatah umurku dari hari ke hari. Suatu hari, datanglah suatu musibah yang sangat besar. Seumur hidup, itulah masalah terbesar yang pernah kualami. Bagaikan badai yang menggulung urat nadiku, musibah itu berhasil membuatku histeris memecah keheningan Subuh yang masih hitam-pekat. Saat itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengutuki apa saja yang ingin kuteriakkan. Aku pun seolah tak peduli dengan keadaan sekitar. Hebat sekali, sepanjang hari itu aku menangis dan menangis saja terus kerjaannya. Ingat sedikit saja, langsung menangis. Rasa sedih pun masih menghantui sampai seminggu lamanya, sampai akhirnya aku harus belajar merelakannya. Badai telah berlalu, namun aku masih seringkali merasa trauma. Di saat aku sedang sendirian di kesunyian malam, aku pun hampir selalu merasa ketakutan. Setiap kali aku mau tidur pun, aku seringkali gelisah dan takut mendapat mimpi buruk. Dan kenyataannya, kini aku memang jadi lebih sering mendapat mimpi buruk.

Seperti sudah hukum alam, masalah itu memang akan selalu ada sejak di buaian sampai ke liang lahat. Akhirnya, setelah badai itu berlalu, masalah-masalah baru pun bermunculan. Seperti biasa, datangnya bertubi-tubi dan jumlahnya banyak. Tetapi ada satu keadaan yang menjadi berbeda. Air mataku tak lagi kering. Aku jadi sering menangis. Aku bahkan begitu mudah menangis untuk alasan-alasan yang tak kumengerti. Apakah ini yang namanya rumit? Ataukah ini yang namanya titik puncak ketidakmengertian? Ya, karena aku pun terlalu tidak dapat mengendalikan ketidakmengertianku tentang semua ini. Maaf kalau bingung, karena aku pun terlalu bingung. Aku jadi sering murung di depan umum. Setiap kali aku merasa sedih dan masalah hidupku begitu kompleks, aku pun menangis. Dan sebenarnya, kalau boleh asal mengira-kira, alasan-alasan yang tak kumengerti dari tangisanku itu adalah masalah-masalah yang terlalu banyak dan terlalu rumit itu sendiri. Jadi, saking aku sudah tidak bisa mengabsen apa saja masalah hidupku, aku pun jadi tidak mengerti secara pasti masalah yang mana yang sebenarnya sedang aku tangisi itu. Begitulah, kalau ada orang menanyaiku, aku pun bingung mau jawab apa. Kalau mereka menyuruhku bercerita, aku pun bingung mau cerita yang mana dulu dan harus mulai dari mana dulu. Aku pun akhirnya hanya dapat meminta mereka untuk cukup memaklumi dan memahamiku saja, dan tidak usah memaksaku untuk menceritakan kesedihanku. Dengan raut penuh derita itu, mungkin saja orang-orang dapat mengerti aku dan tidak mengucilkanku. Ya, semoga saja orang-orang mengerti bahwa untuk saat ini (tetapi entah sampai kapan) aku hanya perlu sendirian atau perlu sekadar ditemani di saat sedang menangis tiba-tiba, tanpa harus ditanya macam-macam.

Di satu sisi, perbedaan yang terjadi di diriku ini membuatku cukup puas. Tak ada lagi yang namanya emosi yang terpendam dan tak terlampiaskan. Kalau sedih ya nangis! Ah, puas sekali rasanya hati ini kalau sudah menangis. Berasa beban yang menggunung di pundak pun raib seketika. Akhirnya, bisa juga aku menangis. Tetapi, ternyata di sisi lain semua ini pun memberi dampak buruk juga. Jangankan mereka-mereka yang memandangku aneh, atau mungkin mereka-mereka yang bertanya-tanya mengapa diriku yang ceria itu kini sering murung, karena sekarang bahkan aku pun merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Sampai kapan aku akan seperti ini terus, aku tak tahu. Pertanyaanku masih sama, “Mengapa aku begitu sulit memaafkan keadaan?”

Jika tak mau mendukungku, aku tidak apa-apa, tetapi tolong, cukup pahami saja diriku. Jangan hakimi aku. Jangan pula jauhi aku. Bagaimanapun hidupku, tak pernah sedikit pun terselip kebencian untuk sesama manusia di dalam hatiku. Aku selalu menyayangi kalian semua :’)

***

Anak panah sang waktu itu lagi-lagi melesat jauh tiada berhentinya... Semuanya hanyalah cerita masa lalu untuk hidup yang lebih bijaksana lagi di masa sekarang dan masa depan. Percayalah, sekarang aku benar-benar baik-baik saja. Senang dan sedih itu datang silih berganti, dan itulah hidup yang normal! Aku tahu kapan aku harus menangis dan kapan aku harus cukup tersenyum saja menghadapi berbagai kenyataan yang ada...

Sunday, 2 September 2012

Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat (Part III)


Kepribadian manusia itu terbagi ke dalam empat golongan, yaitu sanguinis, melankolis, plegmatis, dan koleris. Keempat golongan tersebut pada dasarnya ada di setiap diri manusia. Namun, di antara keempatnya, ada dua sifat yang mendominasi kepribadian seseorang.

Berdasarkan dua artikel berkaitan sebelumnya (Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat Part I dan II), dapat disimpulkan bahwa akulah si cewek melankolis-sanguinis (melankolis ditempatkan lebih dahulu artinya paling mendominasi). Yeah, langsung pada inti artikel ini, aku ingin mengatakan pada Kawan semuanya bahwa akulah si pribadi ‘topeng’.

Di paragraf pertama, kita tahu bahwa di antara empat golongan, hanya dua yang mendominasi karatker seseorang. Nah, berarti kalau dihitung pakai ilmu peluang di  Matematika, maka kemungkinan pasangan yang terjadi adalah sebanyak dua belas pasangan (karena syaratnya tanpa pengulangan dan memperhatikan urutan (bingung? Ya udah deh percaya aja, nggak usah sok-sok dipikirin, hehe…)).

Kata orang, pasangan karakter melankolis-sanguinis seperti yang kupunya adalah jenis kepribadian ‘topeng’. Mengapa topeng? Ya, apabila Kau teliti mengkaji dasar-dasar kemelankolisan dan kesanguinisan, kau pun tentu akan mendapat poin penting bahwa sang melankolis dan sang sanguinis adalah sesuatu yang amat sangat berbeda dan saling bertolak belakang satu sama lain. Ya, di mana saat seharusnya sang melankolis bersifat A, maka sang sanguinis bersifat negasi A. Kemudian, kata orang, dengan bertemunya sifat melankolis dan sifat sanguinis pada diri seseorang, akan mengakibatkan seseorang itu menjadi orang yang sangat unik dan cukup langka (apakah aku benar demikian, Kawan? :O ).

Aku bagaimana dan bagaimana aku, itu terserah yang menilai. Aku sendiri pun bingung sebenarnya dengan diriku sendiri. Ah… terlalu rumit untuk dipahami, apalagi dibahasakan ke dalam tulisan. Yang pasti, yang aku rasakan dengan kemelankolis-sanguinisan yang kupunyai, aku memang memiliki hidup yang kian dramatis, begitu sinetron, amat terasa pahit-manisnya, dan gejolaknya kian timbul-redup naik-turun mengikuti pasang-surut permainan hidup…

Sekian, aku pun bingung, jadi tolong pahami dan sayangi sajalah aku…

Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat (Part II)


Kata orang, akulah sang pembawa suasana. Di mana ada situasi menegangkan, di situlah aku berperan mencairkan. Kata orang, akulah sang penikmat hidup. Masa bodoh orang-orang di luar sana mengutuk-kutuk betapa sulitnya hidup ini atau betapa kerasnya dunia ini. Aku hanya tahu bahwa setiap detik itu berharga, maka daripada dihabiskan untuk menghamburkan air mata, mengapa tidak dihabiskan untuk tertawa saja?

AYO TERTAWA!!!

Hahahahahhahhhaaaaa….!!!

Hahahhaahhahahahhahahaahaaaaaaa…!!!!!!!!

***

Ceria adalah menu utama persembahan hidup yang diberikan sang sanguinis, dan senyum adalah bumbu pemanisnya. Seberapa tajam nan menusuk pun duri tersebar di atas panggungnya, sang sanguinis tetaplah berputar-menari di atasnya tiada letih dan seolah tak merasakan apa-apa. Ia begitu lincah, mempesona, ramah, dan menggembirakan suasana. Raga maupun jiwa bolehlah sering tersakiti, namun ia hanya tahu bahwa ia terlahir untuk membuat dunia ini tersenyum.

“Kalo lo nggak bisa ketawa, buat apa lo hidup?"

Hari ini, seperti biasa sang sanguinis memulai harinya. Betapa besar senyum yang mengembang di wajahnya itu, seakan tahu bahwa sebentar lagi ia akan berkumpul bersama teman-teman, tertawa-tawa bersama, konyol-konyolan, asyik-asyikan, dan menghabiskan hari dengan hal menyenangkan lainnya sampai lupa diri. Seolah setiap hari adalah acara penting. Setiap ia berdiri, di situlah panggungnya sedang terpasang menopang tubuhnya. Setiap berinteraksi dengan orang-orang, ialah sang pembawa acara di sana.

Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat (Part I)


Darah melankolis mengalir jauh di dalam ragaku. Perkenalkan, aku adalah manusia. Aku bukanlah seorang pujangga, tetapi aku hidup atas nama kata-kata. Rasa adalah elemen penting yang membuat aku hidup. Aku senang, aku sedih, aku marah, aku terharu, aku bingung, semuanya karena aku hidup. Rasa adalah segalanya. Tanpa rasa berarti mati. Biarlah aku sedih, aku kecewa, dan aku menderita. Yang terpenting, aku tahu aku masih bisa merasakannya, karena aku hidup! Aku hidup!


Puisi adalah napasku… Syair adalah denyut nadiku…

***

Semua yang indah, bisa jadi terasa sangaattttt indah untukku. Semua yang buruk, bisa jadi pula sangat buruk untukku. Di kala cinta menyapa, hidupku seakan dipenuhi bunga-bunga cinta tiada habisnya. Tetapi, hatikupun akan menjadi penuh kebencian di saat kebencian itu menerpaku. Aku bisa bahagia seratus persen! Aku pun bisa bersedih seratus persen! Begitulah pasang-surut alur emosiku apabila aku tak bisa mengontrolnya.

Aku (dan semua orang melankolis di dunia ini) pun bingung mengapa kami sebegitu melankolis seperti ini. Seolah setiap detik otak kami tidak pernah kosong. Ya, kami sulit sekali untuk sekadar mengosongkan pikiran karena otak kami selalu berpikir. Kami suka sekali merasakan sesuatu dan memikirkannya, mengingat sesuatu dan memikirkannya, mengkaji sesuatu dan memikirkannya, dan apapun itu sambil memikirkannya. Sekali lagi, kami pun bingung mengapa Tuhan menakdirkan darah melankolis tumbuh subur di dalam jiwa kami. Setiap detik adalah rasa. Setiap rasa adalah rasa itu sendiri, namun berlebihan!

***

Ada yang bilang, kami adalah planner berjalan. Segala rencana matang kami pikirkan dari A sampai Z. Bahkan, kata orang, kami adalah orang-orang yang memiliki seribu rencana di balik rencana. Tak heran, banyak yang  ‘meminjam’ kami untuk dijadikan pemimpin atau sekadar me-manage suatu acara. Alasannya jelas, si melankolis tentu sangat teratur, rapi, dan perfeksionis. Dan ternyata, banyak plan berjalan memutari otak kami pun bukan saja sekadar plan jangka pendek belaka. Di tengah-tengah hectic-nya kesibukan kami berpikir untuk acara esok hari, kami pun tengah sibuk memikirkan seribu rencana untuk masa depan. Segala kemungkinan terbaik dan terburuk selalu singgah di pikiran kami agar kami siap menghadapi dan mengatasinya.

Mungkin di satu sisi, kelebihan kami itu memang menguntungkan, tetapi ternyata banyak pula ruginya. Pertama, kami menjadi orang yang khawatiran. Ya, untuk sesuatu yang masih sangat jauh dan tak penting sekalipun, kami bisa mengkhawatirkannya sejak dua puluh atau tiga puluh tahun sebelumnya. Setiap apa yang kami pikirkan adalah untuk jangka panjang. Kata orang, masa depan itu adalah misteri yang kita tidak pernah tahu akan seperti apa. Dan faktanya, hal itulah yang menjadi poin menarik bagi sang melankolis manapun. Kedua, sifat perfeksionis yang kami miliki dapat berdampak bagi buruknya kemampuan kerja sama kami. Tak jarang seorang melankolis yang terlibat suatu proyek, akan mengerjakan segala sesuatu tentang proyek itu seorang diri, karena ia bahkan tidak mempercayai orang lain untuk sedikit saja ikut campur terhadap apa yang dianggapnya paling benar. Ketiga, kekhawatiran berlebih yang kami miliki pun akan membuat kami mudah stress di kala semua itu bersenyawa dengan semua rasa yang ada.

***

Untuk urusan perasaan yang begitu peka, pandai-pandailah menghadapi kawan-kawan Anda yang melankolis. Jika suatu ketika Kau telah menghancurkan hatinya, jangan harap sang melankolis memaafkanmu. Atau, bilapun ia memaafkanmu, tak akan sedikitpun ia melupakan luka yang pernah kau torehkan kepadanya. Sama hukumnya apabila Kau membahagiakan seorang melankolis. Di saat Kau menyayangi seorang melankolis, maka bersiap-siaplah menerima kenyataan bahwa sang melankolis tersebut akan seribu kali lipat lebih menyayangimu. Ya, begitulah kenyataan yang ada. Tak heran apabila orang mengatakan, “Cara membahagiakan wanita melankolis adalah dengan sering-sering memberinya bunga.”