Dulu aku suka nggak ngerti sama temen-temen aku, yang kalau
kasarnya sih, bisa dibilang cengeng. Kayaknya, tiada hari tanpa air mata gitu.
Kalau aku sih sebenarnya termasuk tipe orang yang selain peka banget, respek
banget juga. Aku nggak pernah tega melihat siapapun nangis. Jadi, pada saat
itu, aku mungkin merasa iba pada si cengeng yang sedang menangis itu, tetapi
tetap saja aku tidak setuju kalau dia nangisnya keseringan. Jadi bolehlah
dibilang aku jahat juga seenaknya mengecap mereka cengeng.
Sejak dulu, kutanamkan di dalam diriku, bahwa aku adalah
wanita yang kuat dan bahwa menangis itu artinya kalah dengan keadaan. Maka
terbentuklah diriku yang seperti itu. Sebanyak apapun masalah hidup
menghampiriku, aku tidak sudi menangisinya walaupun hatiku benar-benar sedih.
Pada saat itu, seandainya aku bisa, aku ingin sekali menangis. Boleh taruhan,
sebagian besar cewek seumuranku kalau dikasih masalah yang sama sepertiku pasti
sudah menangis. Aku juga ingin sekali menangis seandainya bisa, tapi aku
benar-benar tidak bisa melakukannya.
Nggak ada satu pun butir air mata yang menetes. Ya, saat itu memang aku
jarang sekali menangis. Aku hanya menangis untuk sesuatu yang kuanggap layak
untuk ditangisi, misalnya saja kematian kerabat atau teman. Di luar semua itu,
aku tidak menangis. Dan satu hal yang paling menjadi pantanganku adalah menangisi
cinta. Kutanamkan pada diriku sendiri, bahwa terlalu hina bila diri ini
menangis hanya karena cinta. Di kala itu, aku tak begitu memedulikannya. Aku
berpikir, ya sudah, kalau memang susah menangis ya tidak usah dipaksakan.
Lama kelamaan, ternyata prinsip yang kutanamkan tersebut
semakin menyiksaku. Seiring bertambahnya umur dan kedewasaanku, permasalahan
hidup pun kian kompleks dan bertubi-tubi datangnya. Setiap kali semua itu
menyerangku, aku hanya dapat berteriak sekencang-kencangnya di dalam hatiku
karena dua alasan, pertama karena masalah itu sendiri, dan yang kedua karena
aku tidak bisa menangis. Aku pun lelah menghadapi semua ini. Aku begitu iri
melihat teman-teman cewek di sekitarku yang begitu mudahnya menangis di saat
mereka sedih. Mengapa aku susah menangis? Adakah yang salah di dalam diriku?
Mengapa air mata ini seolah kering? Apakah hatiku juga telah mengering dan
mengeras seperti batu? Atau mungkin, benarkah aku seolah sudah tidak punya hati
lagi?
Waktu pun berlalu. Bak anak panah yang melesat dari
busurnya, sang waktu pun begitu cepat menghabiskan jatah umurku dari hari ke
hari. Suatu hari, datanglah suatu musibah yang sangat besar. Seumur hidup,
itulah masalah terbesar yang pernah kualami. Bagaikan badai yang menggulung
urat nadiku, musibah itu berhasil membuatku histeris memecah keheningan Subuh
yang masih hitam-pekat. Saat itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengutuki
apa saja yang ingin kuteriakkan. Aku pun seolah tak peduli dengan keadaan
sekitar. Hebat sekali, sepanjang hari itu aku menangis dan menangis saja terus
kerjaannya. Ingat sedikit saja, langsung menangis. Rasa sedih pun masih
menghantui sampai seminggu lamanya, sampai akhirnya aku harus belajar
merelakannya. Badai telah berlalu, namun aku masih seringkali merasa trauma. Di
saat aku sedang sendirian di kesunyian malam, aku pun hampir selalu merasa
ketakutan. Setiap kali aku mau tidur pun, aku seringkali gelisah dan takut
mendapat mimpi buruk. Dan kenyataannya, kini aku memang jadi lebih sering
mendapat mimpi buruk.
Seperti sudah hukum alam, masalah itu memang akan selalu ada
sejak di buaian sampai ke liang lahat. Akhirnya, setelah badai itu berlalu,
masalah-masalah baru pun bermunculan. Seperti biasa, datangnya bertubi-tubi dan
jumlahnya banyak. Tetapi ada satu keadaan yang menjadi berbeda. Air mataku tak
lagi kering. Aku jadi sering menangis. Aku bahkan begitu mudah menangis untuk
alasan-alasan yang tak kumengerti. Apakah ini yang namanya rumit? Ataukah ini
yang namanya titik puncak ketidakmengertian? Ya, karena aku pun terlalu tidak
dapat mengendalikan ketidakmengertianku tentang semua ini. Maaf kalau bingung,
karena aku pun terlalu bingung. Aku jadi sering murung di depan umum. Setiap
kali aku merasa sedih dan masalah hidupku begitu kompleks, aku pun menangis.
Dan sebenarnya, kalau boleh asal mengira-kira, alasan-alasan yang tak
kumengerti dari tangisanku itu adalah masalah-masalah yang terlalu banyak dan
terlalu rumit itu sendiri. Jadi, saking aku sudah tidak bisa mengabsen apa saja
masalah hidupku, aku pun jadi tidak mengerti secara pasti masalah yang mana
yang sebenarnya sedang aku tangisi itu. Begitulah, kalau ada orang menanyaiku,
aku pun bingung mau jawab apa. Kalau mereka menyuruhku bercerita, aku pun
bingung mau cerita yang mana dulu dan harus mulai dari mana dulu. Aku pun
akhirnya hanya dapat meminta mereka untuk cukup memaklumi dan memahamiku saja,
dan tidak usah memaksaku untuk menceritakan kesedihanku. Dengan raut penuh
derita itu, mungkin saja orang-orang dapat mengerti aku dan tidak
mengucilkanku. Ya, semoga saja orang-orang mengerti bahwa untuk saat ini
(tetapi entah sampai kapan) aku hanya perlu sendirian atau perlu sekadar
ditemani di saat sedang menangis tiba-tiba, tanpa harus ditanya macam-macam.
Di satu sisi, perbedaan yang terjadi di diriku ini membuatku
cukup puas. Tak ada lagi yang namanya emosi yang terpendam dan tak
terlampiaskan. Kalau sedih ya nangis! Ah, puas sekali rasanya hati ini kalau
sudah menangis. Berasa beban yang menggunung di pundak pun raib seketika.
Akhirnya, bisa juga aku menangis. Tetapi, ternyata di sisi lain semua ini pun
memberi dampak buruk juga. Jangankan mereka-mereka yang memandangku aneh, atau
mungkin mereka-mereka yang bertanya-tanya mengapa diriku yang ceria itu kini
sering murung, karena sekarang bahkan aku pun merasa seperti kehilangan diriku
sendiri. Sampai kapan aku akan seperti ini terus, aku tak tahu. Pertanyaanku
masih sama, “Mengapa aku begitu sulit
memaafkan keadaan?”
Jika tak mau mendukungku, aku tidak apa-apa, tetapi tolong,
cukup pahami saja diriku. Jangan hakimi aku. Jangan pula jauhi aku.
Bagaimanapun hidupku, tak pernah sedikit pun terselip kebencian untuk sesama
manusia di dalam hatiku. Aku selalu menyayangi kalian semua :’)
***
Anak panah sang waktu itu lagi-lagi melesat jauh tiada berhentinya... Semuanya hanyalah cerita masa lalu untuk hidup yang lebih bijaksana lagi di masa sekarang dan masa depan. Percayalah, sekarang aku benar-benar baik-baik saja. Senang dan sedih itu datang silih berganti, dan itulah hidup yang normal! Aku tahu kapan aku harus menangis dan kapan aku harus cukup tersenyum saja menghadapi berbagai kenyataan yang ada...
No comments:
Post a Comment