Tahu, kan, lagu wedding yang judulnya A Whole New World yang dibawakan oleh
Peabo Bryson feat. Rigina Belle? Lirik lagunya itu secara keseluruhan romatis
banget, pas banget buat lagu wedding.
Tapi dari seluruh lirik lagu itu, bagian yang paling menyentak perasaanku
adalah, “But when I’m way up here, it’s
crystal clear, that now I’m in the whole new world with you… Unbelievable
sights, indescribable feeling…”
“Menikah adalah ibadah, menikah adalah tujuan, menikah adalah mimpi, menikah adalah pembatal dosa, dan menikah adalah awal mula…”-@hanumpdita-
Awal mula. Awal yang
baru. Bagai terlahir kembali. Dunia yang benar-benar baru. Status baru.
Tanggung jawab baru. Tugas baru. Kebahagiaan baru. Kesedihan baru. Semuanya…
baru, hal-hal baru yang tak terbayangkan sebelumnya!
From single to double.
Kau tak lagi mengarungi kehidupan ini sendirian, karena sekarang kau dan dia
adalah satu paket. Bahkan, di kala kelamnya malam menyapa dan menggodamu untuk
sholat malam, atau sekadar berdoa dan menangis tuk melepas kerinduanmu terhadap
Tuhanmu, kau pun tak lagi terbangun di antara sepi, karena kau dan dia akan
terbangun berdua untuk menghadap-Nya.
***
Disadari atau tidak,
menghadapi pernikahan itu sebenarnya lebih kepada persiapan psikis dan mental,
bahwa di depan sana kehidupan yang benar-benar baru telah menanti. Dari segala
yang baru tersebut, pemandangan dan kenyataan baru yang paling gampang kita
dapatkan nantinya adalah mengenai perbedaan…
Ayo kita mulai
mengarang cerita. Pertama, anggaplah aku baru saja menikah dengan pangeranku
tersayang. Hari ini adalah tepat satu minggu kami menjadi pasangan suami-isteri,
bertepatan dengan genap satu minggu pula kami menempati rumah baru kami. Rumah
yang pangeranku hadiahkan untukku itu mungkin masih sederhana, tetapi aku
merasa bak puteri raja yang tinggal di dalam istana setiap detiknya. Yang
tinggal di sana mungkin memang baru kami berdua, tetapi sepinya suasana pun
sama sekali tidak terasa karena aku tahu aku bersamanya… Sepi itu cuma omong
kosong, yang ada hanyalah kebahagiaan kami dan kebersamaan kami…
Namun, tepat seminggu
ini pula lah, semua yang baru atas nama latar belakang perbedaan pun kian
terasa. Perbedaan itu jelas terasa sejak hari pertama kebahagiaan kami. Ya,
kami memang berbeda. Di satu pihak adalah seorang anak manusia yang sejak kecil
memiliki kebiasaan A, sama seperti keluarganya, dan di pihak lain adalah anak
manusia dengan kebiasaan B seperti yang biasa ia lakukan di rumah ayah-ibunya
dulu. Begitulah seterusnya, entah itu aktivitas, cara hidup, sifat dasar, dsb
ternyata serba berbeda. Kalau kita beri contoh real, misal begini, dulu di
keluarga si cowok kalau kelihatan ada debu sedikit maka wajib dibersihkan,
sementara kalau itu terjadi di keluarga si cewek, tidak ada yang memedulikannya
karena mereka menunggu debu itu banyak dulu supaya tidak terlalu sering
dibersihkan. Contoh sepele lain, misalnya dulu di keluarga si cewek kalau makan
wajib di meja makan supaya sopan, tetapi ternyata lain halnya dengan keluarga
si cowok yang membebaskan siapapun anggota keluarganya makan di kamar, sambil
tiduran di ruang nonton TV, dll. Intinya, dari yang sepele sampai yang
kompleks, perbedaan itu akan selalu ada. Namun kami yakin, semua itu adalah
untuk dihadapi bersama dengan kepala dingin, bukan dengan
pertengkaran-pertengkaran.
Aku dan dia berasal
dari latar belakang keluarga yang benar-benar berbeda. Tapi aku sadar, aku
terbiasa begini karena didikan natural
keluargaku, dan dia pun begitu karena didikan natural keluarganya. Poin penting di sini adalah ketika dulu status
kami masih sebagai seorang anak, maka kami pun menuruti aturan main yang dibuat
orang tua kami, entah itu mereka orang tua yang cuek, biasa-biasa saja, atau
kelewat perhatian. Dan kini, status kami adalah calon orang tua yang segala
aturan main di dalam rumah kami merupakan kesepakatan bersama yang bebas kami
tentukan sendiri. Jadi, masa bodohlah dengan masa lalu. Aku dan dia mengarungi
hidup yang baru. So, kami bicarakan
saja segala sesuatunya agar di antara kami sama-sama nyaman dan tidak ada yang
merasa dirugikan.
Menurutku,
dulu dia seperti apa itu tidak penting. Lagian, kalau misalnya setelah menikah
kebiasaan dia jadi berubah menyesuaikan seperti kebiasaanku, orang tuanya nggak
akan marah, kan? Sama saja seperti kalau pandanganku tentang sesuatu berubah
mengikuti pandangan dia, orang tuaku pun tidak akan marah. Ya, karena setelah
menikah, idealnya orang tua masing-masing mempercayakan kepada anaknya untuk ke
mana dan bagaimana rumah tangga anaknya itu akan dibawa. Jadi, kalau misal kita
nggak seperti kita yang dulu, jangan takut merasa tidak enak dengan orang tua
kita karena tidak ikut lagi dengan aturan mainnya. Justru dengan menikahlah
kita menjadi lebih bebas hidup sesuai dengan apa yang kita anggap benar. Tapi
tetap, orang tua itu harus kita hormati, misalnya dengan cara menjalankan
aturan mainnya pada saat kita sedang berkunjung atau berlibur di rumah orang
tua kita itu. Kalau yang dikunjungi rumah orang tua si cewek, untuk sementara
si cowok harus pandai menyesuaikan diri dengan bimbingan si cewek, begitu pula
sebaliknya.
***
Apapun masalahnya,
apapun perbedaannya, bagiku pemecahan yang terpenting adalah komunikasi. Aku
nggak mau di antara aku dan pangeranku ada yang ditutup-tutupi. Kalau boleh
curhat, sebenarnya aku orangnya sangat tertutup untuk rahasia-rahasia tertentu
yang aku anggap cukup aku sendiri dan Tuhan-lah yang tahu. Untuk rahasia yang
tidak terlalu ‘berbahaya’ saja mungkin hanya sahabat-sahabat terdekatku saja
yang tahu. Curhat masalah pribadi dengan orang tua saja jarang dan aku lebih
suka memendamnya sendiri. Tetapi setelah aku menikah suatu saat nanti, aku
nggak mau tertutup sama pangeranku. Dia juga nggak boleh tertutup sama aku.
Nggak boleh ada rahasia sekecil apapun di antara kita. Masalah milik satu pihak
adalah masalah bersama, rahasia satu pihak adalah rahasia bersama, dan
kebahagiaan atau kesedihan salah satu pihak pun adalah milik bersama. Setiap
kali ada sedikit saja kekecewaanku tentangnya, aku akan membicarakannya, dan dia
pun harus begitu. Kalau aku sedang marah padanya, aku harus mengatakannya, dan dia
pun harus begitu. Pokoknya, tidak ada yang boleh memendam apapun satu sama
lainnya. Mau ngomong ya ngomong aja! Tentunya, dengan sikap dan emosi yang
terjaga atas dasar saling memperbaiki, bukan untuk bertengkar.
Dan yang penting
lainnya, sadarilah betapa perbedaan itu indah, karya Yang Kuasa…
No comments:
Post a Comment