Monday, 26 November 2012

Will You Marry Me Immediately???



Rata-rata, cewek ingin menikah pada usia muda, sedangkan cowok biasanya sebaliknya. Tetapi, banyak juga kenyataan yang malah berbalik. Misalnya, cewek dengan panggilan jiwa untuk berkarier, biasanya menomorduakan relationship. Sebaliknya, ada juga cowok yang menginginkan menikah di usia muda, entah dia sudah mapan ataupun memilih tetap menikah walau masih merintis. Yang pasti, umur berapapun itu, sebenarnya tidak masalah. Atau mungkin, perbedaan usia dengan pasangannya itu sendiri, itu pun tidak masalah. Masalahnya itu adalah pada pertanyaan, “Cinta atau tidak?” dan “Siap atau tidak?” yang seandainya jawaban untuk keduanya ‘ya’, maka tunggu apa lagi?

***

“Bila ada ibadah yang paling menyenangkan di dunia ini, maka ibadah tersebut adalah menikah… Bila ada ibadah yang dilaksanakan setiap waktu yang pahalanya mengalir tiada putus, maka ibadah tersebut adalah menikah…”

Seorang sahabat cowok pernah berkata padaku, “Eh emang beneran si blablabla nggak mau nikah? Yakali, orang yang nggak menikah itu hidupnya nggak akan bahagia!” Aku pun pernah membaca suatu hadist (maaf sebelumnya, sahih atau dhoif-nya hadist ini aku tidak tahu secara pasti, namun secara makna isi hadist ini memang bagus), “Sehina-hinanya mayat seseorang adalah mereka yang tidak menikah…” kurang-lebih seperti itulah isi hadistnya.

Kawan-kawan yang Muslim tentu tahu 3 jenis amal yang tidak akan terputus, kan? Amalan yang pahalanya tidak pernah putus, bahkan setelah seseorang meninggal, ada 3 macam, yaitu 1. Amal (sedekah) jariyah; 2. Ilmu (agama) yang bermanfaat; dan 3. Anak sholeh yang mendoakan orang tuanya (doa anak sholeh). Nah, untuk mendapatkan yang ke-3 itu tentu saja hanya dengan menikah, bukan?

Intinya, menyegerakan menikah itu adalah sesuatu yang baik, entah itu bagi perempuan maupun laki-laki. Kita tidak tahu jatah umur kita tinggal berapa tahun lagi. Dan seandainya menunda-nunda menikah padahal sudah mampu dan keburu dipanggil Yang Mahakuasa, nah lho, rugi dong?

Breaking Dawn, Awal Yang Baru


Tahu, kan, lagu wedding yang judulnya A Whole New World yang dibawakan oleh Peabo Bryson feat. Rigina Belle? Lirik lagunya itu secara keseluruhan romatis banget, pas banget buat lagu wedding. Tapi dari seluruh lirik lagu itu, bagian yang paling menyentak perasaanku adalah, “But when I’m way up here, it’s crystal clear, that now I’m in the whole new world with you… Unbelievable sights, indescribable feeling…”

“Menikah adalah ibadah, menikah adalah tujuan, menikah adalah mimpi, menikah adalah pembatal dosa, dan menikah adalah awal mula…”-@hanumpdita-

Awal mula. Awal yang baru. Bagai terlahir kembali. Dunia yang benar-benar baru. Status baru. Tanggung jawab baru. Tugas baru. Kebahagiaan baru. Kesedihan baru. Semuanya… baru, hal-hal baru yang tak terbayangkan sebelumnya!

From single to double. Kau tak lagi mengarungi kehidupan ini sendirian, karena sekarang kau dan dia adalah satu paket. Bahkan, di kala kelamnya malam menyapa dan menggodamu untuk sholat malam, atau sekadar berdoa dan menangis tuk melepas kerinduanmu terhadap Tuhanmu, kau pun tak lagi terbangun di antara sepi, karena kau dan dia akan terbangun berdua untuk menghadap-Nya.

***

Disadari atau tidak, menghadapi pernikahan itu sebenarnya lebih kepada persiapan psikis dan mental, bahwa di depan sana kehidupan yang benar-benar baru telah menanti. Dari segala yang baru tersebut, pemandangan dan kenyataan baru yang paling gampang kita dapatkan nantinya adalah mengenai perbedaan…

Ayo kita mulai mengarang cerita. Pertama, anggaplah aku baru saja menikah dengan pangeranku tersayang. Hari ini adalah tepat satu minggu kami menjadi pasangan suami-isteri, bertepatan dengan genap satu minggu pula kami menempati rumah baru kami. Rumah yang pangeranku hadiahkan untukku itu mungkin masih sederhana, tetapi aku merasa bak puteri raja yang tinggal di dalam istana setiap detiknya. Yang tinggal di sana mungkin memang baru kami berdua, tetapi sepinya suasana pun sama sekali tidak terasa karena aku tahu aku bersamanya… Sepi itu cuma omong kosong, yang ada hanyalah kebahagiaan kami dan kebersamaan kami…

Namun, tepat seminggu ini pula lah, semua yang baru atas nama latar belakang perbedaan pun kian terasa. Perbedaan itu jelas terasa sejak hari pertama kebahagiaan kami. Ya, kami memang berbeda. Di satu pihak adalah seorang anak manusia yang sejak kecil memiliki kebiasaan A, sama seperti keluarganya, dan di pihak lain adalah anak manusia dengan kebiasaan B seperti yang biasa ia lakukan di rumah ayah-ibunya dulu. Begitulah seterusnya, entah itu aktivitas, cara hidup, sifat dasar, dsb ternyata serba berbeda. Kalau kita beri contoh real, misal begini, dulu di keluarga si cowok kalau kelihatan ada debu sedikit maka wajib dibersihkan, sementara kalau itu terjadi di keluarga si cewek, tidak ada yang memedulikannya karena mereka menunggu debu itu banyak dulu supaya tidak terlalu sering dibersihkan. Contoh sepele lain, misalnya dulu di keluarga si cewek kalau makan wajib di meja makan supaya sopan, tetapi ternyata lain halnya dengan keluarga si cowok yang membebaskan siapapun anggota keluarganya makan di kamar, sambil tiduran di ruang nonton TV, dll. Intinya, dari yang sepele sampai yang kompleks, perbedaan itu akan selalu ada. Namun kami yakin, semua itu adalah untuk dihadapi bersama dengan kepala dingin, bukan dengan pertengkaran-pertengkaran.

Aku dan dia berasal dari latar belakang keluarga yang benar-benar berbeda. Tapi aku sadar, aku terbiasa begini karena didikan natural keluargaku, dan dia pun begitu karena didikan natural keluarganya. Poin penting di sini adalah ketika dulu status kami masih sebagai seorang anak, maka kami pun menuruti aturan main yang dibuat orang tua kami, entah itu mereka orang tua yang cuek, biasa-biasa saja, atau kelewat perhatian. Dan kini, status kami adalah calon orang tua yang segala aturan main di dalam rumah kami merupakan kesepakatan bersama yang bebas kami tentukan sendiri. Jadi, masa bodohlah dengan masa lalu. Aku dan dia mengarungi hidup yang baru. So, kami bicarakan saja segala sesuatunya agar di antara kami sama-sama nyaman dan tidak ada yang merasa dirugikan.

Menurutku, dulu dia seperti apa itu tidak penting. Lagian, kalau misalnya setelah menikah kebiasaan dia jadi berubah menyesuaikan seperti kebiasaanku, orang tuanya nggak akan marah, kan? Sama saja seperti kalau pandanganku tentang sesuatu berubah mengikuti pandangan dia, orang tuaku pun tidak akan marah. Ya, karena setelah menikah, idealnya orang tua masing-masing mempercayakan kepada anaknya untuk ke mana dan bagaimana rumah tangga anaknya itu akan dibawa. Jadi, kalau misal kita nggak seperti kita yang dulu, jangan takut merasa tidak enak dengan orang tua kita karena tidak ikut lagi dengan aturan mainnya. Justru dengan menikahlah kita menjadi lebih bebas hidup sesuai dengan apa yang kita anggap benar. Tapi tetap, orang tua itu harus kita hormati, misalnya dengan cara menjalankan aturan mainnya pada saat kita sedang berkunjung atau berlibur di rumah orang tua kita itu. Kalau yang dikunjungi rumah orang tua si cewek, untuk sementara si cowok harus pandai menyesuaikan diri dengan bimbingan si cewek, begitu pula sebaliknya.

***

Apapun masalahnya, apapun perbedaannya, bagiku pemecahan yang terpenting adalah komunikasi. Aku nggak mau di antara aku dan pangeranku ada yang ditutup-tutupi. Kalau boleh curhat, sebenarnya aku orangnya sangat tertutup untuk rahasia-rahasia tertentu yang aku anggap cukup aku sendiri dan Tuhan-lah yang tahu. Untuk rahasia yang tidak terlalu ‘berbahaya’ saja mungkin hanya sahabat-sahabat terdekatku saja yang tahu. Curhat masalah pribadi dengan orang tua saja jarang dan aku lebih suka memendamnya sendiri. Tetapi setelah aku menikah suatu saat nanti, aku nggak mau tertutup sama pangeranku. Dia juga nggak boleh tertutup sama aku. Nggak boleh ada rahasia sekecil apapun di antara kita. Masalah milik satu pihak adalah masalah bersama, rahasia satu pihak adalah rahasia bersama, dan kebahagiaan atau kesedihan salah satu pihak pun adalah milik bersama. Setiap kali ada sedikit saja kekecewaanku tentangnya, aku akan membicarakannya, dan dia pun harus begitu. Kalau aku sedang marah padanya, aku harus mengatakannya, dan dia pun harus begitu. Pokoknya, tidak ada yang boleh memendam apapun satu sama lainnya. Mau ngomong ya ngomong aja! Tentunya, dengan sikap dan emosi yang terjaga atas dasar saling memperbaiki, bukan untuk bertengkar.

Dan yang penting lainnya, sadarilah betapa perbedaan itu indah, karya Yang Kuasa…

Mencari Pendamping Hidup, Kalau Kata Ibu Aku Sih…


Ngomong-ngomong tentang masalah calon pendamping hidup, seorang wanita tentu tidak ingin asal memilih pria yang akan menjadi calon pangerannya. Satu hal penting yang ingin kutegaskan di sini, “Wanita itu berharga dan sama sekali tidak pantas untuk disia-siakan…”

***

Cewek alias anak gadis yang telah beranjak dewasa pasti pernah sesekali (atau malah sering) diajak ibunya membahas masalah calon pendamping hidup, pernikahan, dll. Alasannya jelas, seorang ibu dan anak perempuannya itu sama-sama memiliki hati seorang wanita yang sarat akan kelembutan dan cinta. Ibu manapun sangat tidak menginginkan putrinya tidak bahagia dan gagal dengan pernikahannya.

Kalau aku sendiri, jujur aku jarang ngomongin masalah seperti ini sama ibu aku. Alasannya sih, soalnya ya malu-malu gitu akunya :p Jadi kalaupun ngomongin hal ini, pasti ibu aku duluan yang inisiatif membuka topik, dan tetap saja akunya malu-malu ngobrolinnya :p

Pada dasarnya, ibuku membebaskanku untuk memilih sendiri kepada siapa hatiku  ini akan dilabuhkan. Ibuku tidak mau mencampuri urusan tentang perjalanan cintaku dan selalu mempercayakan pilihan sakral itu kepadaku, karena ibuku hanya ingin aku bahagia. Itu saja…

Nah, pesan dari ibuku tercinta untuk siapapun nanti yang kelak menjadi pangeranku (heh calon pangeran, dengerin nih :p) adalah, “Ibu cuma ingin, anak-anak perempuan ibu dapet suaminya yang baik. Itu yang paling penting. Jangan cari suami yang cuek. Cari suami yang bener-bener baiiiikkkkkkk… yang bener-bener sayaaaaangggg sama kamu… Ibu paling nggak setuju kalau kamu sama laki-laki yang kasar dan omongannya suka bikin sakit hati. Buat apa kamu nikah sama laki-laki yang nggak bisa bikin kamu bahagia, padahal selama ini kamu begitu dibahagiakan sama orang tua kamu? Laki-laki yang cuek itu sama aja nyiksa batin. Ngapain nyiksa-nyiksa anak saya?” Yaaa… kurang lebih seperti itulah ibu aku nitip pesennya. Ibu aku nggak mau banget aku sembarangan mencari pendamping hidup. Ya Tuhan, aku terharu banget… sampai ingin nangis… terima kasih telah memberiku ibu yang luar biasa baik, yang selalu mengutamakan kebahagiaan anak-anaknya :’)

“Dear, my future husband! You’ll be my prince one day till forever, please make me happy with your love so that my mother will be happy too J

Sekali lagi, satu hal penting yang ingin kutegaskan di sini, “Wanita itu berharga dan sama sekali tidak pantas untuk disia-siakan…”

Saturday, 17 November 2012

Untuk Air Mata yang Tak Lagi Kering


Dulu aku suka nggak ngerti sama temen-temen aku, yang kalau kasarnya sih, bisa dibilang cengeng. Kayaknya, tiada hari tanpa air mata gitu. Kalau aku sih sebenarnya termasuk tipe orang yang selain peka banget, respek banget juga. Aku nggak pernah tega melihat siapapun nangis. Jadi, pada saat itu, aku mungkin merasa iba pada si cengeng yang sedang menangis itu, tetapi tetap saja aku tidak setuju kalau dia nangisnya keseringan. Jadi bolehlah dibilang aku jahat juga seenaknya mengecap mereka cengeng.

Sejak dulu, kutanamkan di dalam diriku, bahwa aku adalah wanita yang kuat dan bahwa menangis itu artinya kalah dengan keadaan. Maka terbentuklah diriku yang seperti itu. Sebanyak apapun masalah hidup menghampiriku, aku tidak sudi menangisinya walaupun hatiku benar-benar sedih. Pada saat itu, seandainya aku bisa, aku ingin sekali menangis. Boleh taruhan, sebagian besar cewek seumuranku kalau dikasih masalah yang sama sepertiku pasti sudah menangis. Aku juga ingin sekali menangis seandainya bisa, tapi aku benar-benar tidak bisa melakukannya.  Nggak ada satu pun butir air mata yang menetes. Ya, saat itu memang aku jarang sekali menangis. Aku hanya menangis untuk sesuatu yang kuanggap layak untuk ditangisi, misalnya saja kematian kerabat atau teman. Di luar semua itu, aku tidak menangis. Dan satu hal yang paling menjadi pantanganku adalah menangisi cinta. Kutanamkan pada diriku sendiri, bahwa terlalu hina bila diri ini menangis hanya karena cinta. Di kala itu, aku tak begitu memedulikannya. Aku berpikir, ya sudah, kalau memang susah menangis ya tidak usah dipaksakan.

Lama kelamaan, ternyata prinsip yang kutanamkan tersebut semakin menyiksaku. Seiring bertambahnya umur dan kedewasaanku, permasalahan hidup pun kian kompleks dan bertubi-tubi datangnya. Setiap kali semua itu menyerangku, aku hanya dapat berteriak sekencang-kencangnya di dalam hatiku karena dua alasan, pertama karena masalah itu sendiri, dan yang kedua karena aku tidak bisa menangis. Aku pun lelah menghadapi semua ini. Aku begitu iri melihat teman-teman cewek di sekitarku yang begitu mudahnya menangis di saat mereka sedih. Mengapa aku susah menangis? Adakah yang salah di dalam diriku? Mengapa air mata ini seolah kering? Apakah hatiku juga telah mengering dan mengeras seperti batu? Atau mungkin, benarkah aku seolah sudah tidak punya hati lagi?

Waktu pun berlalu. Bak anak panah yang melesat dari busurnya, sang waktu pun begitu cepat menghabiskan jatah umurku dari hari ke hari. Suatu hari, datanglah suatu musibah yang sangat besar. Seumur hidup, itulah masalah terbesar yang pernah kualami. Bagaikan badai yang menggulung urat nadiku, musibah itu berhasil membuatku histeris memecah keheningan Subuh yang masih hitam-pekat. Saat itu, aku menangis sejadi-jadinya. Aku mengutuki apa saja yang ingin kuteriakkan. Aku pun seolah tak peduli dengan keadaan sekitar. Hebat sekali, sepanjang hari itu aku menangis dan menangis saja terus kerjaannya. Ingat sedikit saja, langsung menangis. Rasa sedih pun masih menghantui sampai seminggu lamanya, sampai akhirnya aku harus belajar merelakannya. Badai telah berlalu, namun aku masih seringkali merasa trauma. Di saat aku sedang sendirian di kesunyian malam, aku pun hampir selalu merasa ketakutan. Setiap kali aku mau tidur pun, aku seringkali gelisah dan takut mendapat mimpi buruk. Dan kenyataannya, kini aku memang jadi lebih sering mendapat mimpi buruk.

Seperti sudah hukum alam, masalah itu memang akan selalu ada sejak di buaian sampai ke liang lahat. Akhirnya, setelah badai itu berlalu, masalah-masalah baru pun bermunculan. Seperti biasa, datangnya bertubi-tubi dan jumlahnya banyak. Tetapi ada satu keadaan yang menjadi berbeda. Air mataku tak lagi kering. Aku jadi sering menangis. Aku bahkan begitu mudah menangis untuk alasan-alasan yang tak kumengerti. Apakah ini yang namanya rumit? Ataukah ini yang namanya titik puncak ketidakmengertian? Ya, karena aku pun terlalu tidak dapat mengendalikan ketidakmengertianku tentang semua ini. Maaf kalau bingung, karena aku pun terlalu bingung. Aku jadi sering murung di depan umum. Setiap kali aku merasa sedih dan masalah hidupku begitu kompleks, aku pun menangis. Dan sebenarnya, kalau boleh asal mengira-kira, alasan-alasan yang tak kumengerti dari tangisanku itu adalah masalah-masalah yang terlalu banyak dan terlalu rumit itu sendiri. Jadi, saking aku sudah tidak bisa mengabsen apa saja masalah hidupku, aku pun jadi tidak mengerti secara pasti masalah yang mana yang sebenarnya sedang aku tangisi itu. Begitulah, kalau ada orang menanyaiku, aku pun bingung mau jawab apa. Kalau mereka menyuruhku bercerita, aku pun bingung mau cerita yang mana dulu dan harus mulai dari mana dulu. Aku pun akhirnya hanya dapat meminta mereka untuk cukup memaklumi dan memahamiku saja, dan tidak usah memaksaku untuk menceritakan kesedihanku. Dengan raut penuh derita itu, mungkin saja orang-orang dapat mengerti aku dan tidak mengucilkanku. Ya, semoga saja orang-orang mengerti bahwa untuk saat ini (tetapi entah sampai kapan) aku hanya perlu sendirian atau perlu sekadar ditemani di saat sedang menangis tiba-tiba, tanpa harus ditanya macam-macam.

Di satu sisi, perbedaan yang terjadi di diriku ini membuatku cukup puas. Tak ada lagi yang namanya emosi yang terpendam dan tak terlampiaskan. Kalau sedih ya nangis! Ah, puas sekali rasanya hati ini kalau sudah menangis. Berasa beban yang menggunung di pundak pun raib seketika. Akhirnya, bisa juga aku menangis. Tetapi, ternyata di sisi lain semua ini pun memberi dampak buruk juga. Jangankan mereka-mereka yang memandangku aneh, atau mungkin mereka-mereka yang bertanya-tanya mengapa diriku yang ceria itu kini sering murung, karena sekarang bahkan aku pun merasa seperti kehilangan diriku sendiri. Sampai kapan aku akan seperti ini terus, aku tak tahu. Pertanyaanku masih sama, “Mengapa aku begitu sulit memaafkan keadaan?”

Jika tak mau mendukungku, aku tidak apa-apa, tetapi tolong, cukup pahami saja diriku. Jangan hakimi aku. Jangan pula jauhi aku. Bagaimanapun hidupku, tak pernah sedikit pun terselip kebencian untuk sesama manusia di dalam hatiku. Aku selalu menyayangi kalian semua :’)

***

Anak panah sang waktu itu lagi-lagi melesat jauh tiada berhentinya... Semuanya hanyalah cerita masa lalu untuk hidup yang lebih bijaksana lagi di masa sekarang dan masa depan. Percayalah, sekarang aku benar-benar baik-baik saja. Senang dan sedih itu datang silih berganti, dan itulah hidup yang normal! Aku tahu kapan aku harus menangis dan kapan aku harus cukup tersenyum saja menghadapi berbagai kenyataan yang ada...

Monday, 3 September 2012

Mengapa Harus Kemanusiaan?


Terlepas dari perbedaan ras, suku bangsa, etnis, budaya, agama, warna kulit, latar belakang politik, latar belakang pendidikan, taraf hidup, ataupun hal-hal lainnya, bagiku semua manusia adalah sama.

Ya, sama. Sesederhana itu saja!

***

Apakah Kawan semua menyukai cerita-cerita yang bertemakan patriotisme? Kalau aku pribadi, jujur aku sangat menyukainya. Cerita-cerita mengagumkan dari para unpaid volunteer yang tak sedikit pun haus tepuk tangan selalu membuatku malu pada diri sendiri. Aksi-aksi nyata yang mereka abdikan bukanlah aksi seremonial tak penting demi mendongkrak popularitas dan formalitas. Mereka melakukan hal-hal ajaib jauh di luar dugaan kita yang duduk manis tidak tahu apa-apa. Bagi mereka, aksi nyata adalah sesuatu yang harus dilaksanakan, bukan untuk diceramahkan.

Tidak pernah terbayangkan di benak kita, bahwa ternyata, di tengah keruhnya mental bangsa, terdapat suatu komunitas relawan yang beranggotakan mahasiswa Fakultas Kedokteran yang mengabdikan hidup dan tenanganya untuk turun ke medan-medan berbahaya demi menyelamatkan hidup banyak orang. Mereka menugaskan diri mereka sendiri untuk pergi ke lokasi-lokasi bencana dalam dan luar negeri, daerah-daerah terpencil yang tak pernah tersentuh tindakan medis, atau yang lebih berisiko lagi, tanpa ragu mereka mantap terjun ke lokasi-lokasi perang di dalam negeri (contohnya, perang saudara di Ambon, di Papua, dsb…) dan di luar negeri (contohnya di Afghanistan, Gaza, dsb…). Risiko kehilangan nyawa kapan saja mereka sudah tahu, tetapi kelangsungan hidup banyak orang lebih penting bagi mereka. Dan di saat mereka hanya menggantungkan nasib pada Yang Mahakuasa, mereka pun tidak dibayar untuk semua itu. Mereka ikhlas melakukannya asalkan mereka masih diberi makan yang cukup.

Selain aksi-aksi yang berangkat dari idealisme para mahasiswa, banyak pula volunteer di dunia ini yang bahkan lahir dalam keadaan tidak seberuntung mahasiswa-mahasiswa itu. Untuk bersekolah saja mereka tidak mampu. Namun, tanpa memedulikan embel-embel pendidikannya, tak jarang aksi-aksi nyata yang spektakuler dilakukan oleh rakyat biasa yang untuk makan sehari-hari saja susahnya minta ampun. Sebagai contoh, ada seorang kakek di daerah Madiun sana yang telah mengabdikan lebih dari setengah hidupnya untuk menyelamatkan lingkungan. Selama berpuluh-puluh tahun ia menanam dan menanam semua tanaman, termasuk pohon-pohon besar, yang dapat bermanfaat bagi dirinya dan masyarakat lainnya. Alhasil, suatu kawasan hutan yang nyaris gundul pun hijau kembali, dan daerahnya yang sulit air pun akhirnya memiliki sumber mata air. Sang Kakek pun menerima penghargaan kalpataru yang amat bergengsi itu. Sebelumnya, mungkin tak terbayangkan oleh kita betapa di luar sana ada orang yang menanami  hutan gundul seorang diri. Bumi tentu bangga memiliki manusia yang mencintainya.

Dua paragraf di atas hanyalah contoh kecil. Terlalu banyak malaikat-malaikat di luar sana yang punya cerita sendiri tentang pengalamannya menjadi relawan. Tak jarang dari semua cerita itu memancing air mata haru dari setiap pendengarnya, saking luar biasanya pengorbanan yang dilakukan oleh malaikat-malaikat itu.

Ya, mereka adalah relawan, dermawan, unpaid volunteer, pahlawan, malaikat, atau apapun itu sebutannya. Dibandingkan semua kategori buku atau cerita yang kusukai, aku memang paling senang membaca kumpulan kisah inspratif yang bertemakan kemanusiaan. Menurutku, setiap orang itu bisa menjadi relawan. Dengan latar belakang perbedaan apapun itu, setiap orang bisa menjadi relawan untuk semua orang yang berbeda pula latar belakangnya, apapun itu! Terbukti pada contoh kedua tadi, menjadi relawan itu tidak harus jadi sarjana dulu, tidak harus menunggu jadi kaya dulu, dan tidak harus menunggu apapun.

Setiap orang dituntut untuk menjadi relawan, minimal dari yang sederhana terlebih dahulu. Jadi, maksudku di sini adalah bukan untuk mengajak terjun ke ranah berbahaya tanpa kalkulasi pertimbangan marabahaya di sana, tetapi lebih kepada bagaimana kita harus melatih kepekaan kita terhadap kemanusiaan. Menjadi relawan dalam konteks sederhana adalah aksi menolong sesama dalam kehidupan sehari-hari. Aku juga sama sekali tidak melarang Kawan-kawan untuk menjadi relawan yang ekstrim perjuangannya, malahan kalau memang berniat seperti itu, aku akan bangga sekali memiliki kawan seperti Kawan-kawan semua. Hanya, untuk menjadi seperti itu, tentunya membiasakan diri menolong orang lain haruslah benar-benar dibiasakan.

Kita sangat bisa menjadi volunteer sesuai dengan latar belakang profesi dan kemampuan kita. Yang pasti, apapun itu, ikhlaslah dan janganlah sekalipun ingin dilihat orang di saat kau menolong seorang manusia. Cukup Tuhan yang menjadi saksi. “Dan di saat begitu banyak pahlawan-pahlawan baru lahir ke dunia, maka selamatlah apa yang dinamakan kemanusiaan itu…”

Di saat tim SARS mengevakuasi korban-korban yang masih hidup maupun telah tiada, para anggota tim tidak memedulikan sedetik pun, apakah orang yang ditolongnya itu seagama dengan dia atau tidak, bangsa Indonesia atau bukan, orang baik-baik atau koruptor, atau apapun itu perbedaannya. Mereka hanya tahu menolong!

***

Itulah mengapa aku mencintai kemanusiaan, Kawan! Di saat Kau menjunjung tinggi nilai kemanusiaan, perbedaan apapun tidak tampak. Aku benci membahas perbedaan. Sekali lagi, setiap manusia itu sama derajatnya. Kau beragama apapun, aku yakin, agamamu tentu mengajarimu tentang kebaikan, bukan? (tidak bermaksud menganggap semua agama itu sama, aku tentu hanya percaya dan bangga pada agamaku)

Kita semua satu. Walau berbeda, kita semua adalah satu, umat manusia!

Kata orang, setiap manusia itu lahir untuk sebuah misi. Maka apabila Kau manusia yang dewasa untuk selalu memanusiakan manusia, tanamkanlah dalam salah satu misi hidupmu, bahwa apapun tindakan dan visi hidupmu, kau akan selalu menjaga keutuhan perdamaian dunia.

Sunday, 2 September 2012

Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat (Part III)


Kepribadian manusia itu terbagi ke dalam empat golongan, yaitu sanguinis, melankolis, plegmatis, dan koleris. Keempat golongan tersebut pada dasarnya ada di setiap diri manusia. Namun, di antara keempatnya, ada dua sifat yang mendominasi kepribadian seseorang.

Berdasarkan dua artikel berkaitan sebelumnya (Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat Part I dan II), dapat disimpulkan bahwa akulah si cewek melankolis-sanguinis (melankolis ditempatkan lebih dahulu artinya paling mendominasi). Yeah, langsung pada inti artikel ini, aku ingin mengatakan pada Kawan semuanya bahwa akulah si pribadi ‘topeng’.

Di paragraf pertama, kita tahu bahwa di antara empat golongan, hanya dua yang mendominasi karatker seseorang. Nah, berarti kalau dihitung pakai ilmu peluang di  Matematika, maka kemungkinan pasangan yang terjadi adalah sebanyak dua belas pasangan (karena syaratnya tanpa pengulangan dan memperhatikan urutan (bingung? Ya udah deh percaya aja, nggak usah sok-sok dipikirin, hehe…)).

Kata orang, pasangan karakter melankolis-sanguinis seperti yang kupunya adalah jenis kepribadian ‘topeng’. Mengapa topeng? Ya, apabila Kau teliti mengkaji dasar-dasar kemelankolisan dan kesanguinisan, kau pun tentu akan mendapat poin penting bahwa sang melankolis dan sang sanguinis adalah sesuatu yang amat sangat berbeda dan saling bertolak belakang satu sama lain. Ya, di mana saat seharusnya sang melankolis bersifat A, maka sang sanguinis bersifat negasi A. Kemudian, kata orang, dengan bertemunya sifat melankolis dan sifat sanguinis pada diri seseorang, akan mengakibatkan seseorang itu menjadi orang yang sangat unik dan cukup langka (apakah aku benar demikian, Kawan? :O ).

Aku bagaimana dan bagaimana aku, itu terserah yang menilai. Aku sendiri pun bingung sebenarnya dengan diriku sendiri. Ah… terlalu rumit untuk dipahami, apalagi dibahasakan ke dalam tulisan. Yang pasti, yang aku rasakan dengan kemelankolis-sanguinisan yang kupunyai, aku memang memiliki hidup yang kian dramatis, begitu sinetron, amat terasa pahit-manisnya, dan gejolaknya kian timbul-redup naik-turun mengikuti pasang-surut permainan hidup…

Sekian, aku pun bingung, jadi tolong pahami dan sayangi sajalah aku…

Mengenal Kepribadianku Lebih Dekat (Part II)


Kata orang, akulah sang pembawa suasana. Di mana ada situasi menegangkan, di situlah aku berperan mencairkan. Kata orang, akulah sang penikmat hidup. Masa bodoh orang-orang di luar sana mengutuk-kutuk betapa sulitnya hidup ini atau betapa kerasnya dunia ini. Aku hanya tahu bahwa setiap detik itu berharga, maka daripada dihabiskan untuk menghamburkan air mata, mengapa tidak dihabiskan untuk tertawa saja?

AYO TERTAWA!!!

Hahahahahhahhhaaaaa….!!!

Hahahhaahhahahahhahahaahaaaaaaa…!!!!!!!!

***

Ceria adalah menu utama persembahan hidup yang diberikan sang sanguinis, dan senyum adalah bumbu pemanisnya. Seberapa tajam nan menusuk pun duri tersebar di atas panggungnya, sang sanguinis tetaplah berputar-menari di atasnya tiada letih dan seolah tak merasakan apa-apa. Ia begitu lincah, mempesona, ramah, dan menggembirakan suasana. Raga maupun jiwa bolehlah sering tersakiti, namun ia hanya tahu bahwa ia terlahir untuk membuat dunia ini tersenyum.

“Kalo lo nggak bisa ketawa, buat apa lo hidup?"

Hari ini, seperti biasa sang sanguinis memulai harinya. Betapa besar senyum yang mengembang di wajahnya itu, seakan tahu bahwa sebentar lagi ia akan berkumpul bersama teman-teman, tertawa-tawa bersama, konyol-konyolan, asyik-asyikan, dan menghabiskan hari dengan hal menyenangkan lainnya sampai lupa diri. Seolah setiap hari adalah acara penting. Setiap ia berdiri, di situlah panggungnya sedang terpasang menopang tubuhnya. Setiap berinteraksi dengan orang-orang, ialah sang pembawa acara di sana.